Dansa Ukir Sejarah Di PON

id dansa, sejarah dansa di pon, Cabang olahraga dansa, ekan Olahraga Nasional XIX, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Olahraga Dansa Indonesia, IODI, Heru

Dansa Ukir Sejarah Di PON

Ilustrasi atlet dansa (Antarasumsel.com/Ist)

Palembang (ANTARA Sumsel) - Cabang olahraga dansa untuk kali pertama dipertandingkan di Pekan Olahraga Nasional XIX/Jawa Barat setelah sebelumnya hanya ekshibisi di PON Kalimantan Timur pada 2008.

Dansa yang sempat menjadi polemik di PON Riau pada 2012 sehingga batal digelar, kini dipertandingkan secara resmi meskipun dengan nama berbeda, yakni dancesport.

Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Olahraga Dansa Indonesia (IODI) Heru Sutanto di Bandung, Selasa, mengatakan, untuk dapat dipertandingkan di PON kali ini, kalangan dansa harus berjuang keras mengingat derasnya stigma negatif yang melekat pada cabang olahraga ini.

"Ada yang beranggapan tidak sesuai dengan budaya ketimuran karena pakaiannya terlalu seksi dan gerakannya yang vulgar. Saya pikir ini tergantung dengan cara pandang orang masing-masing, tapi jika dilihat dari sisi olahraga maka tidak ada yang menyangkal bahwa ini adalah total olahraga," kata Heru.

Lantaran itu, PB PON Jabar meloloskan cabang olahraga dansa dengan syarat menganti namanya dengan dancesport.

Untuk menyesuaikan dengan dancesport ini, IODI yang juga tergabung dalam International Dance Organization menyeleksi nomor pertandingan dengan mempertimbangkan kuota medali dari PB PON dan kesesuaian dengan budaya masyarakat.

"Karena sejumlah persyaratan, akhirnya diselenggarakan 15 nomor dari seharusnya yang berjumlah 47 nomor, termasuk di dalamnya nomor hip-hop karena dance ini dinilai sudah sangat populer di kalangan remaja," kata dia.

Sebanyak 15 nomor itu, preamateur standar, free for all waltz standard, free for all cha cha cha latin, rising star latin, free for all rumba latin, rising star standard, free amateur latin, free for all quick step, free for all jive, amateur latin, free for all tango, free for all samba, amateur standard, free for all slow foxtrot, dan hip-hop.

Ia menambahkan selama tiga hari pelaksanaan, 17-20 September 2016, di Ballroom Hotel Harris Bandung, sebenarnya masyarakat dapat menilai sendiri bagaimana dansa itu dipertandingkan.

Pakaian yang dikenakan atlet, meskipun glamor tetap pantas atau tidak bertentangan dengan norma yang berlaku, begitu pun dengan gerakan yang ditampilkan atlet.

"Hingga hari akhir pelaksanaan, tidak ada pertentangan di masyarakat. Kami berharap ini menjadi catatan sendiri sehingga pada PON di Papua tetap dipertandingkan," kata dia.

IODI memandang keberlanjutan cabang itu penting karena sejumlah daerah mulai fokus membina atlet dansa.

Bahkan dua provinsi yang terbilang masih baru di bidang dansa sudah mampu ambil bagian di PON, yakni Bali dan Nusa Tenggara Barat.

Selain itu, yang patut menjadi perhatian adanya sepasang atlet usia delapan tahun asal NTB yang sudah diturunkan di PON.

"Ini suatu kemajuan yang patut disyukuri karena olahraga ini sudah merambah ke anak-anak, jika kompetisi seperti PON ini tetap dilanjutkan maka akan ada pembinaan berkesinambungan," kata dia.

Selain itu, hal yang patut menjadi catatan yakni penggunaan teknologi informatika dalam penjurian untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya kecurangan.

Sistem ini untuk kali pertama diterapkan dalam pertandingan dancesport di Indonesia mengingat sebelumnya lembar penilaian yang diberikan juri lalu dikumpulkan secara manual untuk dijumlahkan panitia.

Data, kini terkirim secara "realtime" yakni hanya berselang satu hingga dua detik sehingga poin diberikan 13 juri menggunakan alat tablet. Poin tersebut kemudian akan langsung terakumulasi dan terpajang di layar raksasa.

Pemenang langsung dapat diketahui bahwa sebelum atlet meninggalkan lantai dansa (saat penonton bertepuk tangan memberikan apresiasi).

Untuk menggunakan teknologi informatika ini, IODI membayar mahal ahli asal Brisbane, Australia yang telah berpengalaman dalam menangani kompetisi dansa internasional.

Oleh karena itu, tak heran kiranya sama sekali tidak ditemukan konflik dalam cabang olahraga dancesport PON Jabar.

Para peserta menyakini bahwa penilaian yang diberikan sudah berlangsung sangat sportif tanpa bisa dicurangi.

Meskipun kontingen tuan rumah Jawa Barat menjadi juara umum dengan menyabet enam medali emas, tiga perak, dan empat perunggu, hal itu tidak membuat satu pun kontingen yang memprotes hasil tersebut.

Perolehan medali Jawa Barat tidak terkejar oleh pesaing utamanya Jawa Timur yang mengumpulkan empat emas, disusul Sulawesi Selatan pada tempat ketiga dengan mengemas tiga emas, satu perak, dan satu perunggu.

Sementara provinsi lain yang juga mendulang medali emas di lantai dansa, yakni Sulsel (3 emas, 1 perak, 1 perunggu), dan Papua (2 emas, 3 perunggu).

Peringkat kelima ditempati DKI Jakarta (4 perak, 2 perunggu), Kalimantan Timur (2 perak, 4 perunggu), Kepri (1 perak, 1 perunggu), dan Jawa Tengah (1 perak).

Kemenangan Jawa Barat ini tidak lepas dari penampilan prima pasangan Jericho Arion Sampurna/Velensia Angela yang meraih tiga emas sekaligus pada nomor free for all waltz standard, free for all tango, amateur standard.

Kemudian, diikuti penampilan gemilang Vincent Andrian-Elizabeth Marthalia yang meraih dua emas pada nomor preamateur standard dan free for all quick step, dan Mohammad Gozali/Enung pada nomor free for all slow foxtrot.

Sementara itu, selain atlet Jabar yang berforma maksimal, pasangan atlet Jawa Timur yakni Albert Juwono/Tania Christabela Tungka juga tidak bisa dipandang sebelah mata.

Kedua atlet ini mampu meraih tiga emas dari nomor free for all rumba latin, free for all jive, dan amateur latin dari total empat emas yang diperoleh Jatim pada cabang olahraga dancesport.



     Ramai penonton


Pertandingan dansa PON Jabar selalu ramai penonton. Ballroom Hotel Harris dengan kapasitas 1.000 penonton selalu penuh disesaki penonton, mulai dari anak sekolah, "suporter", para penggemar dansa, dan pelaku seni tari.

Kehadiran ratusan penonton ini tak lain karena olahraga dansa sebenarnya juga pertunjukan seni.

Belasan pasangan berlengak-lenggok mengikuti iringan musik latin, cha-cha, rumba, jive, samba, quick step, waltz, dan tango.

Mereka tampil prima, bukan hanya dalam gerak tapi juga dari sisi kostum dan tata rias atau layaknya seorang raja dan ratu dansa.

Pakaian berwarna mencolok yang dikenakan atlet dipadukan dengan hiasan batu stroinski sehingga kesan mewah demikian melekat bagi yang memakainya.

Bahan pakaian juga sangat lembut dan lentur. Ketika pedansa berputar 360 derajat maka rok turut mengembang membuat gerakan menjadi lebih sempurna.

Lantaran itu, jangan heran jika baju yang dikenakan atlet dansa ini harganya bisa puluhan juta rupiah dan mesti diimpor dari luar negeri.

Maryam, atlet dansa asal Kalimantan Utara, mengaku mengenakan kostum yang harganya di atas Rp20 juta. Ia juga memiliki beberapa buah sebagai koleksi pribadi.

"Karena saya bertanding memperkuat daerah, jadi kostum dibelikan KONI," kata dia.

Selain pakaian, sepatu juga merupakan bagian terpenting untuk menunjang penampilan atlet dansa.

Demi kenyamanan dalam berlenggak-lenggok di lantai dansa, menurut Maryam, sepatu juga harus berkualitas baik sehingga saat dikenakan sangat nyaman dan tidak ada keraguan akan patah pada bagian penyangganya.

"Sepatu saya ini harganya Rp2 juta. Sebenarnya saya bisa saja pakai sepatu yang lebih murah, tapi khawatir tidak nyaman, sementara kami dituntut berperforma maksimal saat bertanding," kata dia.

Sehingga tidak heran kiranya pertandingan dansa selalu ramai penonton karena penampilan prima para atlet membuat mata nyaris tidak berkedip, belum lagi lantunan musik membuat penonton semakin menikmati sajian dansa.