Galau gara-gara obat

id obat palsu, obat kadaluarsa, obat ilegal, BPOM

Galau gara-gara obat

Ilustrasi - Obat ilegal (FOTO ANTARA/Widodo S. Jusuf/den)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Keberhasilan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan penyelidik Direktorat Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Polri membongkar lima gudang berisi 42 juta butir obat-obatan ilegal di Balaraja, Tangerang, Banten membuat masyarakat bingung.

Di sisi lain, masyarakat mengapresiasi prestasi tersebut yang membuktikan bahwa aparat hukum dan pengawas obat dan makanan di negeri ini betul-betul bekerja untuk mengamankan masyarakat dari makanan dan obat-obatan berbahaya.

Namun, di sisi lain masyarakat juga bingung dan khawatir karena pengungkapan itu membuktikan bahwa obat-obatan ilegal pernah atau sempat beredar di masyarakat. Bagaimana bila kita menjadi salah satu korban obat-obatan ilegal itu?

Hal sama disampaikan Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay yang mengapresiasi keberhasilan BPOM dan Bareskrim Polri mengungkap keberadaan gudang berisi jutaan butir obat-obatan ilegal itu.

"Meskipun mengapresiasi, tetapi pada saat yang sama kita semua patut khawatir karena di luar sana masih banyak obat dan makanan palsu beredar," kata Saleh melalui pesan singkat diterima di Jakarta, Kamis.

Terkait dengan penggerebekan gudang obat-obatan ilegal itu, Kepala BPOM Penny K. Lukito mengatakan tim menemukan obat ilegal yang kerap digunakan dan menghasilkan efek halusinasi seperti trihexiphenidyl, heximer dan tramadol.

"Trihexiphenidyl dan heximer juga merupakan obat parkinson, sedangkan tramadol adalah obat antinyeri. Bila disalahgunakan, sering menimbulkan halusinasi," tuturnya.

Penny mengatakan tim juga menemukan carnophen dan somadryl yang merupakan obat antinyeri berbahan aktif carisoprodol yang telah dicabut izin peredarannya oleh BPOM.

Beberapa obat lain yang ditemukan adalah dextromethorphan, yaitu sejenis obat antitusif, dan sildenafil sitrat yang kerap digunakan sebagai obat kuat.

Penny berharap masyarakat cerdas dalam memilih obat yang dikonsumsi dengan mengecek izin edar dan membeli di gerai resmi.

"Pastikan kemasan dalam kondisi baik, memiliki izin edar dan tidak kedaluwarsa," ujarnya.

        
    Lebih Ketat

Menanggapi pengungkapan gudang penyimpanan obat-obatan ilegal tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta BPOM untuk lebih memperketat pengawasan peredaran obat-obatan sehingga tidak lagi ditemukan obat palsu maupun ilegal.

"Karena itu ada BPOM. Itu urusan BPOM untuk lebih tegas," kata Wapres.

Namun, Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay menilai pengawasan yang lemah yang dilakukan BPOM saat ini tidak lepas dari pemretelan kewenangan BPOM yang dilakukan pemerintah sendiri.

"Payung hukum BPOM saat ini hanya berupa keputusan presiden yaitu Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Nondepartemen. Tidak jarang, kewenangan yang dimiliki BPOM dalam peraturan itu justru dibatasi oleh undang-undang lain," tuturnya.

Politisi Partai Amanat Nasional itu mengatakan perlu ada penguatan dari sisi regulasi, kelembagaan dan sumber daya manusia serta penganggaran terhadap BPOM.

Dari segi regulasi, perlu ada payung hukum yang lebih kuat untuk BPOM. Karena itu, Komisi IX DPR engajukan Rancangan Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan yang merupakan inisiatif DPR. Melalui undang-undang tersebut diharapkan eksistensi dan kewenangan BPOM semakin kuat.

Untuk jangka pendek, Komisi IX juga telah meminta agar Kementerian Kesehatan dan BPOM merevisi beberapa peraturan menteri kesehatan yang mengebiri kewenangan BPOM dalam melakukan pengawasan. Saat ini, revisi peraturan menteri kesehatan itu telah selesai dan memasuki tahap finalisasi.

Dari sisi kelembagaan dan sumber daya manusia, BPOM juga perlu diperkuat. Saat ini penyidik BPOM hanya sekitar 520 orang.

"Jumlah tersebut sangat sedikit bila dibandingkan dengan luas cakupan pengawasan yang harus dilakukan BPOM," ujarnya.

Sedangkan dari sisi penganggaran, Saleh berpendapat BPOM juga belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Tugas dan tanggung jawab besar yang diemban BPOM terlihat belum didukung anggaran yang memadai.

"Akibatnya, program dan kegiatan BPOM terkesan hanya pengulangan dari program yang sama pada tahun sebelumnya," katanya.

    
    Cari Dalang

Sementara itu, Wakil Kepala Bareskrim Polri Irjen Polisi Antam Novambar mengatakan pihaknya masih menelusuri dalang di balik obat-obatan ilegal tersebut dan belum menangkap atau menetapkan tersangka dalam kasus tersebut.

"Saat ini telah diperiksa 15 orang saksi untuk mengetahui aktor intelektual kejahatan tersebut," katanya.

Menurutnya, kasus ini terungkap setelah polisi melakukan penelusuran selama delapan bulan. Operasi yang dilakukan Jumat(2/9) merupakan langkah antisipatif.

Kasus tersebut teringkap setelah ada dugaan penyalahgunaan obat Carnophen di seluruh wilayah Indonesia. Bareskrim mencatat, BPOM pernah mengungkap penyalur bahan baku Carnophen ilegal di Jakarta pada 2014. Sementara pada 2015, Polri mengungkap pelaku produksi dan distribusi obat Carnophen di wilayah Kalimantan Selatan.

Kasus yang terungkap tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan razia di sejumlah toko obat di Pasar Pramuka, Jakarta Timur pada Rabu (7/9) untuk mencegah peredaran obat-obatan ilegal dan kedaluwarsa.

Pasar Pramuka dikenal sebagai pusat penjualan obat dan alat kesehatan. Dalam razia tersebut, tim gabungan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan DKI Jakarta menemukan obat-obatan kedaluwarsa yang masih bebas beredar.

Kepala Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan DKI Jakarta Nurjaya Bangsawan mengatakan obat harus ditarik minimal tiga bulan sebelum kedaluwarsa untuk ditukar dengan obat baru.

"Pembeli harus mengembalikan obat tiga bulan sebelum kedaluwarsa ke distributor untuk kemudian dimusnahkan produsen disaksikan petugas Balai Besar," katanya.