Buah hatiku, sumber kekuatanku

id anak, soden, syamsuddin, pola asuh

Buah hatiku, sumber kekuatanku

Syamsuddin bersama istrinya Depy Sartika dan anak keduanya Muhammad Fadil di warungnya di Jalan Ki Kemas Rindo, Kertapati, Palembang, Senin (27/6). (Foto Antarasumsel/Dolly Rosana/16)

...Saya khawatir istri akan sama seperti ibu, membiarkan saja jika berbuat salah...
Palembang (ANTARA Sumsel) - Sorot mata Syamsuddin (37) tajam tapi jika beradu padang maka ia tak berani menatap lawan bicaranya.

Ada garis putih melintang tanda bekas jahitan di dahinya dan tato yang sedikit menyembul di balik lengan kemejanya.

Sudah 3,5 tahun ini, Soden, sapaan akrabnya menghirup udara bebas dengan berkumpul bersama istri dan dua orang anaknya, Dini Safira (8 tahun) dan Muhammad Fadil (1 tahun dan 1 bulan).

Predikat bandar besar narkoba, sudah lama ditinggalkan pria kelahiran Palembang, 28 Agustus 1979 ini.

Kini pria kurus perawakan 'sanggar' ini membuka warung sembako kecil-kecilan di kediamannya di Jalan Jalan Ki Kemas Rindo, Kecamatan Kertapati, Palembang.

"Saat ingat anak, dan bertekad tidak mau terpenjara lagi. Cukup sudah, keluar masuk bui selama tujuh tahun," kata Syamsudin yang dijumpai di rumah panggung usang milik orang tuanya di kawasan Sungki, Kertapati, Palembang, pada Senin (27/6).

Kesadaran Soden untuk meninggalkan dunia hitam tersebut terjadi saat berada di penjara pada tahun 2012 atau setahun menjelang bebas.

Padahal saat itu, ia yang disebut-sebut sebagai 'anak' dan 'tangan kanan' dari bandar besar narkoba di Sumatera Selatan, Atay, masih menggendalikan bisnis peredaran narkoba dari Lembaga Permasyarakatan.

"Banyak yang menasihati saya untuk berhenti, terutama keluarga tapi tidak dihiraukan. Tapi entah mengapa, pada satu tahun menjelang bebas, saya putuskan berhenti karena jenuh, tidak ada kesudahannya, setiap hari hanya uang dan uang saja yang dipikirkan, dan uangnya juga tidak terlihat juga, 'uang jin dimakan setan'," kata dia.

Kehidupan yang anak ketiga dari empat bersaudara ini memang tidak mudah sejak kecil.

Ia tumbuh dalam kawasan kumuh, sarat dengan kehidupan kriminal. 

Bahkan warga Palembang lazim menyebut kawasan Sungki, Kertapati sebagai Texas-nya Palembang, lantaran kehidupan masyarakat yang mudah untuk saling bacok jika berselisih paham.

Soden menceritakan bahwa dirinya hanya sebentar mengecap kasih sayang dari sang ayah karena keburu meninggal dunia saat usianya baru menginjak tiga tahun. 

Sang ibu, Rasidah telah menikahi ayahnya, pria paruh baya lebih yang saat itu sudah berstatus pensiunan TNI.

Ia pun tumbuh seadanya, tanpa adanya pendidikan dan pengasuhan yang baik di tengah-tengah lingkungan "keras" yang menggangap perilaku kriminal sebagai kenakalan remaja belaka.

Sang ibu yang berkerja serabutan menjadi buruh cuci dan tukang masak di sebuah rumah makan terbilang tidak memiliki cukup waktu untuk memperhatikan anak-anaknya.

Himpitan ekonomi membuat sang ibu tidak bisa bersantai-santai di rumah untuk sekadar bercengkramah dengan buah hati.

Akibatnya, lingkungan tempat tinggal yang paling banyak memberikan warna dalam pembentukan karakter Syamsuddin.

Pada usia lima tahun, ia sudah berani mencuri telur ayam tetangga.

"Saya ingat, saya mencuri telur ayam. Kemudian saya masak, ibu saya hanya melihat dan tidak bertanya. Sampai saat ini saya bingung, mengapa tidak dilarang, apakah ibu sudah pasrah seperti sudah menyakini bahwa anak-anaknya bakal jadi penjahat semua," kata Soden dengan mata berkaca-kaca.

Demikian pula saat saya membeli banyak mainan yang uangnya didapat dari mencuri barang elektronik milik tetangga. Ibu juga tidak bereaksi.

Hal serupa juga terjadi pada anak-anak lain, seperti saat kakak pertama mendapatkan uang hasil berjudi dan diberikan ke ibu. 

"Tidak ada penegasan bahwa itu salah," kata dia.

Soden pun tumbuh menjadi anak remaja yang rentan berbuat kriminal, mulai dari mencuri, menodong, hingga berkelahi.

Bahkan saat usia 12 tahun, ia sudah terbiasa membawa senjata tajam jika keluar rumah karena ketika itu sudah memiliki sejumlah musuh.

Tempaan lingkungan itu pada akhirnya juga mengiring Soden ke bui. 

Pada tahun 2000-an atau tepatnya saat berusia 20 tahun, ia berkelahi dengan seseorang di kawasan Gandus, Palembang yang menyebabkan korbannya terbunuh.

"Saya pun masuk obak karena divonis tujuh tahun penjara oleh hakim," kata  pria yang tidak pernah menamatkan pendidikan SMP ini.

Rupanya ini yang menjadi awal perkenalannya dengan bisnis narkoba.

Saat itu, ia berada satu sel dengan badar besar Sumsel yang dikenal dengan sebutan Atay.

Awalnya, ia hanya menjadi asisten pribadi, namun lambat laun mulai mendapatkan kepercayaan untuk menjalankan bisnis haram ini.

"Tahun 2007, saya yang minta sendiri untuk bergabung. Waktu itu, Atay menolak tapi saya getol pengen ikut, dan akhirnya mendapatkan kepercayaan penuh," kata dia.

Sekeluarnya dari penjara pada 2008, Soden pun mengendalikan peredaran narkoba di Kota Palembang dan sekitarnya.

Pernah dalam satu hari, ia meraup omset hingga Rp1 miliar.

"Sampai pusing kepala saya menghitung uang hingga bermalam-malam," kata Soden sambil tertawa kecil.

Sejak saat itu, ia mulai keluar masuk bui meski dengan masa hukuman hanya beberapa bulan saja, diantaranya pada 2009, ia tertangkap dan divonis empat bulan, kedua pada 2010 dengan divonis sembilan bulan, dan terakhir pada 2012 yang akhirnya bebas pada 2013.

"Saat itu, saya pegang uang banyak sekali jadi merasa tidak masalah ditangkap, nanti saya suap saja aparat. Tapi lama kelamaan saya jenuh juga, dan inilah titik awalnya. Lantas, saya mulai belajar agama dari seorang ustad di Lapas Lampung," kata dia.

Ia pun selalu teringat pada sang buah hati pertama, Dini Safira yang kerap ditinggalkan karena masuk penjara sejak usia tiga tahun.

"Saya berpikir, bagaimana Dini ini jika saya tidak ada. Saya khawatir istri akan sama seperti ibu, membiarkan saja jika berbuat salah. Saya juga takut jika nanti ditanya Tuhan, apakah sudah mendidik anak atau belum," kata dia.

Setelah kepulangannya pada 2013, Soden pun memutuskan untuk berhenti total.

Keluarga besarnya juga memberikan dukungan, termasuk sang ibu yang selama ini mendapatkan aliran uang dari bisnis narkoba.

Ia pun menggunakan aset yang tersisa untuk membuka bisnis, mulai dari bengkel, tambak ikan, dan berjualan pakaian.

Namun sejak enam bulant terakhir, ia fokus berjualan sembako dan minyak eceran di kediamannya.

"Dalam satu hari lumayan, bisa dapat pemasukan bersih sekitar Rp100 ribu. Saya juga sedang cari cara untuk jadi agen gas 3 kg," kata dia.

Selain itu, ia ingin mendampingi penuh kedua anaknya dalam memberikan pola asuh yang baik.

Sang putri pertama saat ini sudah menamatkan juz 6 membaca Alquran.

"Saya marah betul jika tidak mengaji, setiap hari pada pukul 16.00 WIB harus berangkat ke masjid untuk mengaji," kata dia.

Menurutnya, pendidikan agama harus ditanamkan sejak kecil agar pada saat dewasa tidak salah dalam melangkah. Jika pun tersesat maka sejatinya mengetahui jalan untuk pulang.

Ia pun sedapat mungkin mengerjakan shalat berjamaan dengan anak-anaknya pada setiap magrib.

Dukungan sang istri Depy Sartika (28) juga menjadi vitamin mujarab baginya.

"Saya capek pisah terus (dibui, red), tidak apa tidak ada uang tapi hidup tenang, tidak dikejar-kejar terus," kata Depy, menimpali suaminya yang bercerita.

Menurut Depy, suaminya berangsur-angsur memperbaiki diri setelah memutuskan untuk berhenti menjadi pengedar narkoba. Bahkan tidak pernah lagi meninggalkan shalat lima waktu.

"Saya sempat khawatir karena masih ada teman-temannya yang datang ke rumah saat baru mau taubat. Tapi lama kelamaan tidak ada lagi, rupanya karena ajakan selalu ditolak," kata dia.

Orang tua Hadir 

Salah seorang praktisi pendidikan keluarga Fery Farhati mengatakan, kenakalan remaja yang kemudian menjurus kriminalitas seperti narkoba, pemerkosaan, pornografi sejatinya karena orang tua tidak hadir dalam kehidupan anak.
    
"Seorang anak membutuhkan kasih sayang dan cinta dari orang tua, namun terkadang orang tua merasa jika sudah memenuhi kebutuhan jasmani maka hal tersebut telah terpenuhi, padahal tidak demikian," kata Fery dalam seminar nasional bertema "Pola Asuh Membentuk Karakter Anak" di Palembang, Senin (16/5). 
    
Ketika anak dihadapkan permasalahan ketika berinteraksi dengan lingkungan maka anak membutuhkan keluarga untuk mendukungnya.
    
Namun, manakala rumah bukan menjadi tempat anak untuk mendapatkan rasa cinta maka keluarga sudah kehilangan perannya sebagai pemberi rasa aman.
    
"Inilah saat paling rentan, anak bisa terpengaruh dengan lingkungan dan berbuat menjurus pada kriminal," kata istri Mendikbud Anies Baswedan ini,
    
Oleh karena itu sangat penting kiranya bagi orang tua untuk belajar mengenai perkembangan zaman karena anak sejatinya dilahirkan sebagai pembelajar.
    
Dengan belajar maka orang tua akan tahu sebenar-benarnya kebutuhan anak, yang berdasarkan penelitian disimpulkan menjadi lima hal yakni keteraturan, rasa aman, batasan, keterlibatan dan gembira.
    
Adanya peraturan di rumah membuat anak bisa mengontrol diri, sedangkan rasa aman akan menumbuhkan karakter jujur dan karakter baik lainnya.

Kemudian adanya batasan akan membuat anak terkendali dalam mengeksplorasi diri, dan adanya keterlibatan untuk mendorong anak cerdas dan aktif, serta gembira untuk membuat anak tumbuh maksimal.

"Jadi salah jika orang tua berpikir bahwa kebutuhan anak itu hanya kebutuhan jasmani saja," kata lulusan S2 Applied Family and Child Study Department of Family, Cosumer & Nutrition Sciences Northern Illinois University, USA ini.

Jika lima hal ini diciptakan maka anak tumbuh secara maksimal dengan memiliki karakter-karakter unggul secara moral (jujur, empati, integritas, dll) dan kinerja (kerja keras, rajin, aktif, dll).
    
Namun Fery mengatakan teori ini sangat sulit dijalankan di masa kini karena orang tua kerap tenggelam dalam kesibukannya dengan dalih mencari nafkah.
    
"Akibatnya, peran keluarga sebagai pembentuk karakter anak menjadi mengabur karena apa yang dibutuhkan anak tidak dapat dipenuhi secara maksimal," kata Fery.

Orang tua memegang peranan penting dalam pembentukan karakter anak di lingkungan keluarga. 

Mendidik anak, bukan hanya semata memberikan doktrin dan pengajaran belaka tapi lebih dari itu yakni menunjukkan contoh nyata dan keteladanan, seperti yang sudah dilakukan Syamsuddin.