Revolusi mental ala Jemie Vardy

id jemie vardy, liga inggris liga utama inggris, Leicester city

Revolusi mental ala Jemie Vardy

Claudio Ranieri dan Jamie Vardy (Licester City) (Ist)

....Kami adalah Leicester yang menerabas masuk dalam lingkaran elite Premier League....
Jakarta (Antara Sumsel) - Stadion King Power bergemuruh, bergetar, bersukacita meluapkan kegembiraan tak terkira setelah Jamie Vardy pemain pujaan penggila Leicester mencetak gol dengan menebas gawang Liverpool yang dijaga Simon Mignolet pada menit ke-60, skor 1-0 untuk Leicester dalam laga Liga Inggris yang diadakan pada Selasa (2/2).

Menit demi menit berlangsung menyita perjalanan ziarah waktu, lagi-lagi Vardy mencetak satu gol tambahan pada menit ke-71. Skor 2-0! Ini akhir duel yang  membaptis The Foxes - julukan bagi Leicester - sebagai pemenang laga pekan ke-24 di bawah kubah digdaya Premier League musim kompetisi 2015/16.

Dua gol pemain bernomor punggung 9 itu layaknya memenuhi ungkapan sekali mendayung dua pulau terlampaui. Pasukan asuhan pelatih Claudio Ranieri itu bertahta di puncak klasemen Liga Inggris dengan unggul tiga poin di depan atas Manchester City yang bertengger di peringkat kedua (47 poin) setelah melakoni 24 laga.  
Selain itu, Vardy yang bergabung bersama Leicester sejak 2012 itu mengukuhkan diri sebagai top scorer dengan mencetak 18 gol sampai pekan pertama Februari 2016, meninggalkan Lukaku yang melesakkan 15 gol bagi Everton.

Vardy mengobarkan revolusi mental, atinya ia tiada henti menggeluti dunia kehidupan dengan memproduksi sebanyak mungkin gol bagi Leicester. Revolusi mental bukan sekedar mereproduksi kata-kata anjuran sang pelatih, melainkan keberanian dan keteguhan hati untuk keluar dari penjara kepentingan diri sendiri.

Vardy lebih banyak memberi sukacita bagi seluruh pendukung Leicester, ketimbang mengejar nikmat bagi kepentingan diri sendiri. Silakan menyaksikan bagaimana gol demi gol dirayakan dengan luapan ekspresi kegembiraan, dari memeluk antar fan sampai mengacungkan kemudian menggerakkan tangan kanan ke bawah seraya mengucapkan kata, "yes!".

Memori pada laga Selasa itu membekas di hati seluruh punggawa Liverpool di bawah asuhan pelatih Juergen Klopp. Pelatih berpaspor Jerman itu sampai-sampai memilih kata "frustrasi" untuk mewadahi kekecewaan seluruh punggawa The Reds.

Kalau Liverpool tertunduk lunglai setelah tercabik oleh dua gol Vardy, maka fans the Foxes justru menerima pembebasan dari belenggu mimpi terlempar di posisi semenjana klasemen Liga Inggris di musim sebelumnya.

Di pekan ke-24, posisi Leicester yang nyaman membuat dan menciptakan ruang berbagi bersama antara pemain, pelatih, dan fans. Inilah pesan pembebasan yang dibawa oleh seluruh anak asuhan Ranieri untuk memperkaya daya terjang revolusi mental. Dan Vardy justru memposisikan diri sebagai orang pertama tunggal dalam cerita akbar bernama Liga Inggris.

Rivalitas di bawah kubah perebutan gelar Liga Inggris bertambah sengit. Leicester bukan tim anak bawang lagi, karena mampu menembus tahta empat besar tim yang selama ini begitu merajai Liga Inggris semisal Chelsea, Manchester City, Arsenal, dan Manchester United.

Tahta bahkan sudah di depan mata bagi Vardy dan kawan-kawan. Lepas Natal 2015, Leicester bukan tanpa kritik, lantaran tidak meraih satu pun kemenangan dari tiga laga. Ini memunculkan spekulasi santer di kalangan pandit sepak bola Inggris, bahwa the Foxes bakal terjengkang sampai setengah kompetisi. Nyatanya? Prediksi itu meleset, meski masih tersisa 14 laga di depan.

"Sukses" Leicester yang dramatis dengan tetap bertengger di puncak klasemen mengingatkan publik akan ziarah perjalanan Brian Clough yang menginspirasi Nottingham Forest meraih kejayaan pada 1978.

"Saya berpendapat jika memang Leicester menang di musim ini maka prestasi itu lebih besar dibandingkan dengan (Forest)," kata mantan gelandang Leicester Robbie Savage yang kini meniti karier sebagai pandit di sebuah stasiun televisi Inggris.

"Kita menyaksikan penampilan tim-tim besar seperti (Manchester United) yang telah menghabiskan dana sebanyak 250 juta pound (atau 363,7 juta dolar AS atau 331,4 juta euro) tetapi mereka tidak mampu finis di empat besar. Nah, jika saja Leicester menang, maka ini merupakan kejutan luar biasa."
Vardy bersama dengan Leicester memaknai revolusi mental sebagai keberanian mengucapkan dengan suara lantang pernyataan, "Aku pribadi yang menang merdeka". Pribadi yang merevolusi diri tiada henti melafalkan kredo "aku subyek pemenang dari perjuangan hidup" di setiap lini kehidupan sebagai pelajar, mahasiswa, pegawai kantor di instansi swasta atau negara, wiraswasta, guru dan segala profesi lainnya.

Hanya lima tim yang mendominasi gelar Liga Inggris sesudah 1992 di era Premier League, yakni Manchester United, Blacburn Rovers, Arsenal, Chelsea dan Manchester City. Leicester justru tidak masuk dalam arus kemenangan.

Kini, tim asuhan pelatih Italia Ranieri itu membekali diri dengan pernyataan lugas bahwa "kami bukan Manchester United, bukan Blacburn Rovers, bukan Arsenal, bukan Chelsea dan bukan Manchester City." Kami adalah Leicester yang menerabas masuk dalam lingkaran elite Premier League".

Revolusi mental yang dibawah Vardy dan kawan-kawan merupakan "big bang" dari kekuatan kata-kata negatif bahwa "kami bukan mereka, kami  bukan tim kelas kambing, kami bukan lagi tim anak bawang lagi." Inilah metamorfosa dari kekuatan kata negatif yang memotivasi seseorang atau sebuah tim untuk meraih prestasi gemilang.

Memasuki musim 2015-16, sederet tim-tim papan bawah mulai unjuk gigi bahkan unjuk kekuatan, sebut saja Watford, Stoke City, West Ham United dan Southampton. Dan Ranieri justru tampil layaknya sang "subyek" yang menunjukkan jati diri sebagai sosok motivator yang piawai membakar semangat anak asuhannya dengan mengandalkan kata-kata "sebagai pemain, anda bukanlah siapa-siapa, karena itu buktikan bahwa anda adalah subyek kemenangan".

Leicester memboyong Vardy dari klub non-liga Fleetwood Town dengan nilai mahar sebanyak 1 juta pound, Riyad Mahrez dari Le Havre dengan bayaran sebanyak 400.000 pound dan N'Golo Kante didatangkan dari Caen dengan nilai transfer sebanyak 5,6 juta poundsterling.

Leicester mampu membalik keadaaan, dari tim semenjana, menjadi tim yang mampu meneror dominasi tim-tim papan atas di Premier League. Di bahwa arahan Ranieri, penampilan Vardy dan kawan-kawan begitu kokoh mengandalkan lini pertahanan, minimal dalam penguasaan bola, tetapi siap menggelontorkan serangan balik yang cepat dan berbuah gol.

Vardy merevolusi mental sesama rekan dalam tim, di hati sanubari Mahrez, Kante, Danny Simpson, Danny Drinkwater dan Shinji Okazaki. "Semangat tim sungguh luar biasa. Kami terus dan tetap bersemangat. Kami tidak akan berhenti percaya. Siap bertarung dan menang. (Untuk meraih gelar juara liga)? Sejarah yang akan membuktikannya," kata gelandang Leicester Drinkwater.