Pengamat: MK seharusnya uji proses pilkada bersengketa

id mk, mahkahmah konstitusi, sengketa pilkada, pilkada

Pengamat: MK seharusnya uji proses pilkada bersengketa

Mahkamah Konstitusi. (FOTO ANTARA)

...MK seharusnya tidak mengurusi pengujian suara dengan penghitungan ulang surat dalam sidang, melainkan menguji proses mendapatkan suara...
Jakarta (ANTARA Sumsel) - Pengamat politik dari Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan, seharusnya Mahkamah Konstitusi (MK) menguji proses  hasil mendapatkan suara yang dilakukan pasangan calon kepala daerah yang menang, atau menggugat hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada).
       
Rangkuti mengatakan, di Jakarta, Senin, MK seharusnya tidak mengurusi pengujian suara dengan penghitungan ulang surat dalam sidang, melainkan menguji proses mendapatkan suara.
       
Ia menilai, kondisi MK saat ini berbeda dengan MK saat awal pembentukan yang diketuai oleh Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD pada 2003-2013.
       
"Saat Jimly dan Mahfud menjadi ketua MK, MK jadi lembaga yang progresif dengan menguji proses mendapatkan suara pasangan calon kepala daerah yang bersengketa," kata Rangkuti.
       
Ia berpendapat, MK menguji proses pasangan calon mendapatkan suara dalam Pilkada pada saat dipimpin oleh Jimly dan Mahfud.
       
"Mengapa si A mendapat 200 ribu suara, si B dapat 210 ribu suara? Apakah dia mendapatkan suara secara sah atau tidak, apakah melanggar peraturan atau tidak. Begitu seharusnya," kata dia.
       
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menjelaskan, sebagian besar permasalahan yang dibawa dalam gugatan sengketa Pilkada ke MK ialah penggunaan fasilitas negara sebagai alat kampanye dan menggerakkan aparatur sipil negara untuk memilih pasangan calon tertentu, khususnya pasangan calon dari pertahana.
       
"Seperti di dekat rumah saya di Tangsel (Tangerang Selatan) ada jalan yang sudah lebih dari 10 tahun tidak diaspal tiba-tiba diaspal saat satu bulan menjelang pemilihan. Selain itu juga dana Bansos (Bantuan Sosial) tiba-tiba naik lebih dari 100 persen," kata Rangkuti.
       
Ia menilai, hal-hal seperti itu yang harus diperhatikan dan diuji oleh MK ketimbang melakukan penghitungan ulang jumlah suara sah dan tidak sah di persidangan.
       
"MK harus membuka diri kembali dengan menguji proses yang tidak memenuhi konstitusi, itulah fungsi mereka," kata Rangkuti.
       
Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang mengatur tentang batas maksimal dua persen selisih perolehan suara sebagai syarat untuk bisa mengajukan gugatan dinilai dapat menyulitkan pasangan calon untuk melakukan gugatan.