Pengelola hutan harapan terapkan standar HAM

id hutan, hutan harapan

Pengelola hutan harapan terapkan standar HAM

Hutan (Foto Antarasumsel.com/Nila Fuadi)

Palembang (ANTARA Sumsel) - Pengelola kawasan Hutan Harapan di wilayah Jambi dan Sumatera Selatan seluas 98.555 hektare, yaitu PT Restorasi Ekosistem Indonesia menyatakan komitmen menerapkan standar pemenuhan hak-hak asasi manusia dan sosial selama 35 tahun ke depan.

"Ini sudah menjadi komitmen PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) dan mungkin yang pertama perusahaan restorasi di Tanah Air menerapkan standar HAM dan sosial," kata Presiden Direktur PT REKI Efendy A Subardja pada acara Konsultasi Publik Kebijakan Sosial dan Pelibatan Masyarakat di Palembang, Senin.

Menurut dia, melalui komitmen ini unit manajemen hutan harapan akan memastikan kegiatan restorasi ekosistem memberikan dampak peningkatan kehidupan masyarakat adat dan lokal yang dituangkan dalam rencana strategis pada 2014-2040.

Guna menerapkan standar HAM dan sosial ini tentu memerlukan konektifitas dan keharmonisan antarkelembagaan dan para pihak yang konsisten terhadap pengelolaan hutan harapan, antara lain dengan menguji tuntas penghormatan HAM dan implementasi persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan.

Kemudian menghormati keberadaan masyarakat adat dan lokal dengan mengakui hak-hak adat dan individu terhadap tanah mereka yang sudah ada sejak dulu, serta adalah menyelesaian konflik secara aktif, terbuka dan konstruktif melibatkan para pemangku kepentingan lokal, nasional dan internasional.

Sementara itu, aktivis Walhi Nasional Nur Hidayati mengatakan PT REKI juga harus menyambut dan mengimplementasikan gelombang transformasi yang diberikan negara untuk rakyat mengelola hutan lestari.

Dia menjelaskan, pada masa Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono telah memberikan penuh hak-hak penguatan rakyat terutama masyarakat adat dan lokal untuk mengelola hutan seluas 2,5 juta hektare, namun pengelolaannya baru tercapai sekitar 30 persen.

Sekarang masa kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla juga mengalokasikan pengelolaan hutan untuk rakyat seluas 12,7 juta hektare.

"Artinya negara saat ini telah memberikan langkah yang cukup besar terhadap rakyat untuk mengelola hutan. PT REKI sendiri juga harus menunjukkan komitmen yang kuat melestarikan hutan dan pembinaan masyarakat adat dan lokal," katanya.

Menurut Nur Hidayati, selama ini regulasi nasional dalam pengelolaan hutan yang berbasis konservasi dan korporasi dengan pendekatan bisnis dinilai telah gagal melestarikan hutan, bahkan terjadi konflik berkepanjangan antara korporasi dan masyarakat lokal, negara melakukan pembiaran.

Hal senada juga diungkapkan staf ahli Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Mahir Takaka, bahwa benturan antara masyarakat adat, masyarakat lokal dan perusahaan terus terjadi puluhan tahun, sementara negara tidak melakukan keberpihakan terhadap masyarakat tersebut.

"Hak-hak tanah masyarakat adat di hutan selama ini dirampas oleh perusahaan. Padahal struktur masyarakat adat dan kearifan mengelola hutan lestari cukup baik," ujarnya.



Kebijakan Restorasi

Pemerintah mengeluarkan kebijakan restorasi ekosistem di hutan produksi secara resmi melalui SK Menteri Kehutanan No 159/Menhut-II/2004.

Pada 2005, untuk pertamakali di Indonesia ditetapkan areal seluas 98.555 hektare di Jambi dan Sumsel sebagai kawasan restorasi ekosistem yang selanjutnya diberi nama Hutan Harapan (Harapan Rainforest).

Kebijakan ini lahir dari kekhawatiran hilangnya hutan alam di kawasan hutan produksi, rentannya pengelolaan kawasan hak pengusahaan hutan (HPH) dan perubahan hutan alam menjadi peruntukan lainnya.

Dari 16 juta hektare hutan dataran rendah Sumatera pada tahun 1900, kini hanya tersisa sekitar 500 ribu hektare.

Sebanyak 20 persen dari hutan tersisa adalah Hutan Harapan yang membentang di dua kabupaten di Provinsi Jambi, yakni Kabupaten Sarolangun dan Batanghari, dan Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel.

Dulu kawasan ini adalah Hutan Produksi yang dikelola PT Asialog dan Inhutani. Izin pengelolaannya diberikan kepada Unit Manajemen Hutan Harapan yang dibentuk komunitas Burung Indonesia, Birdlife International dan "Royal Society for the Protection of Birds".

Pemerintah mensyaratkan badan hukum perseroan terbatas (PT), maka Unit Manajemen Hutan Harapan mendirikan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki). Izin pertama diperoleh pada 2007, yakni untuk kawasan seluas 52.170 hektare di Kabupaten Musi Banyuasin (SK Menhut No 293/Menhut-II/2007). Izin kedua keluar pada 2010 untuk areal seluas 46.385 hektare di Kabupaten Batanghari dan Sarolangun (SK Menhut No 327/Menhut-II/2010).

Menurut Efendy, hutan Harapan menjadi sumber serta areal resapan air penting bagi masyarakat Jambi dan Sumsel. Sungai Batang Kapas dan Sungai Meranti merupakan hulu Sungai Musi yang mengalir melalui Sungai Batanghari Leko. Sungai ini menjadi sumber kehidupan utama masyarakat Sumsel, baik untuk air bersih, perikanan, pertanian, perkebunan maupun sarana transportasi.

Sungai lainnya adalah Sungai Lalan, yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Bayunglincir (Sumsel) dan sekitarnya. Lalu, sungai Kandang yang juga berhulu di Hutan Harapan menjadi sumber air penting bagi masyarakat di sekitar Sungai Bahar, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi. Pada musim kemarau 2015 lalu, sungai-sungai yang berhulu di Hutan Harapan tetap mampu menangkap dan menyuplai air bagi masyarakat Sumsel dan Jambi.

Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan adalah kelompok masyarakat yang hidup di alam bebas yang memiliki kearifan sendiri dalam mengelola hutan.

Mereka memanfaatkan Hutan Harapan dengan mengambil hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, jerenang, madu sialang, getah jelutung, damar, serta tanaman obat-obatan. Hutan Harapan menjadi kawasan hidup dan jelajah sekitar 300 kepala keluarga Batin Sembilan.