Memupuk tradisi berkesenian anak

id anak, kesenian, budaya, siswa, orang tua, pelajaran

Memupuk tradisi berkesenian anak

Ilustrasi (FOTO ANTARA)

Jakarta, (ANTARA Sumsel)  Menikmati seni, entah itu menikmati dalam pengertian sebagai konsumen atau menikmati dalam arti melakoni kerja berkesenian, merupakan kebutuhan esensial bagi semua orang, termasuk anak-anak.

Di sekolah dasar, seni entah seni lukis, seni tari, seni bela diri, seni suara, menjadi katub pengaman emosi bagi anak-anak setelah mengalami tekanan yang melelahkan sehabis menerima pelajaran matematika atau pelajaran lain yang menguras banyak energi pikiran anak.

Demikianlah yang terlihat: anak-anak bersorak gembira ketika bu atau pak guru memerintahkan mereka untuk mulai menggambar bebas, artinya menggambar objek apa saja kesukaan siswa.

Beberapa kalangan orang tua, entah orang tua terpelajar atau berpendidikan rendah, kadang memandang pelajaran kesenian kurang penting dibandingkan pelajaran keras seperti matematika, bahasa Inggris atau sains.

Namun, tak sedikit orang tua yang mengerti bahwa pelajaran kesenian merupakan bagian yang tak bisa dijauhkan dari siswa. Orang tua seperti ini bahkan memberi kesempatan anak-anak mereka sejak dini untuk mengikuti kursus piano, biola, les menggambar, atau menari.

Penggalakan pertunjukan seni yang dilakoni oleh anak-anak dan ditonton oleh anak-anak pula juga perlu dilakukan oleh pemerintah. Penyelenggaraan Festival Budaya Anak yang melibatkan ribuan anak dari berbagai bangsa di Taman Ismail Marzuki agaknya pantas diapresiasi sebab dari sinilah pengalaman berkesenian dapat memperkaya batin anak-anak.

Sejak dini anak-anak diberkahi kemampuan menikmati keindahan. Potensi inilah yang kadang tak dieksplorasi oleh orang tua dalam perjalanan hidup seorang anak. Memberi pengalaman berkesenian pada anak tidak mesti membutuhkan dana besar.

Memang hanya orang-orang berkelas sosial menengah ke atas yang sanggup mengursuskan anak-anak mereka di sekolah-sekolah musik, tari. Hanya orang tua yang tahu makna bakat melukis, lalu memberi kesempatan sang anak untuk mengikuti les menggambar.

Namun, apakah anak-anak dari keluarga kelas bawah, seperti anak para buruh bangunan, penarik bajaj, becak, sopir angkot, atau pemulung tidak punya kesempatan untuk menggali bakat kesenian mereka? Tentu, ada sejumlah bidang seni yang tidak perlu biaya besar seperti seni sastra.

Orang tua mereka, yang umumnya berpendidikan rendah, tentu tidak bisa diharapkan punya kesadaran untuk mendorong anak-anak menekuni seni kesusastraan. Untuk itu, guru di sekolahlah yang bisa diharapkan memotivasi para siswa miskin menggumuli kesastraan.

Menekuni dunia seni sastra, entah prosa atau puisi, tak memerlukan biaya seperti kalau seorang anak yang bergelut dengan seni lukis, yang perlu biaya membeli cat air, cat minyak, kuas, dan peralatan lukis lain, antara lain meja gambar.

Dengan menggeluti puisi, misalnya, yang dibutuhkan anak hanyalah kertas kosong dan pena. Namun, guru-guru di sekolah kebanyakan enggan memberikan dorongan pada anak untuk menggumuli perpuisian. Penyebab utama adalah kebanyakan guru sendiri tidak punya kemampuan menikmati keindahan puisi. Hanya sebagian kecil guru yang punya kemampuan itu. Itu pun mereka pada umumnya tidak punya inisiatif untuk menularkan kemampuan itu pada anak didik mereka.

Jika sejak dini anak-anak sudah diberi kemampuan menikmati dan jadi pekerja seni, seni apa pun, kelak kemampuan itu akan memberikan banyak manfaat secara psikis maupun material pada mereka.

Menanamkan kecintaan kesenian secara umum pada anak-anak sehingga kelak mereka dapat menikmati keindahan beragam bidang seni belum menjadi kesadaran sebagian besar orang. Padahal, hanya orang yang bisa menikmati indahnya koreografi, estetisnya karya lukis, merdunya suara penyanyi, dan dahsyatnya untaian kata sang penyair, yang akan sanggup melahirkan karya-karya yang secara holistik lebih bernilai.

Eseis yang juga penyair dan punya riwayat hidup sebagai jurnalis seperti Goenawan Mohamad kepada wartawan muda sering menganjurkan untuk membiasakan diri menonton film bermutu, menyaksikan pertunjukan teater, tari, mendengar musik klasik, dan membaca puisi. Untuk apa? Untuk mengasah kepekaan estetis mereka.

Alangkah bagusnya jika kepekaan estetis itu diasah sejak anak-anak, bukan ketika seseorang sudah beranjak dewasa, setelah lulus kuliah.

Seni juga melembutkan perasaan manusia. Seni berperang melawan kekerasan. Itu sebabnya, ketika kekuasaan yang ditopang bedil merajalela dan tidak ada perlawanan dari ranah politik, seni hadir untuk melawannya, memeranginya. Tentu tidak dengan menghancurkannya dengan kekerasan, tetapi dengan persuasi, penyadaran pada khalayak.

Semsar Siahaan melawan otokrasi Orde Baru dengan lukisan-lukisannya. Riantiarno dengan sindiran-sindirannya. W.S. Rendra dengan sajak-sajak pampletnya. Iwan Fals dengan lirik-liriknya. Pramoedya dengan prosa-prosa agungnya. Djoko Pekik dengan lukisan metaforiknya.

Kecintaan pada dunia keindahan juga menjadi salah satu karakter seorang cendekiawan. Tentu tidak cuma mencintai seni untuk menjadi cendekiawan sejati; juga perlu kecintaan pada kebenaran. Mereka yang hanya mencintai keindahan tanpa kebenaran bisa menjadi pengabdi pada kekuasaan yang menindas.

Dalam konteks memberikan pengalaman berkesenian pada anak inilah, publik terutama dari kalangan yang berkebihan dana perlu didorong untuk berinvestasi di ranah pembudayaan seni pada anak.  Kalangan pebisnis perlu mendermakan sebagian keuntungannya untuk mendanai aktivitas berkesenian untuk anak-anak. Jika hal ini terealisasikan, tentu Jose Rizal Manua, Sutradara Teater Anak Nusantara, tidak akan kesulitan membiayai aktivitasnya dan membangun tradisi berkesenian, dalam hal ini berteater, yang kuat di kalangan anak-anak.