Ahli: Konsep "agrotrisula" dapat sejahterakan petani

id pakar lingkungan, ahli lingkungan, petani, argotrisula, pertanian, peternakan, perikanan, lahan, membakar lahan

Ahli: Konsep "agrotrisula" dapat sejahterakan petani

Ilustrasi (FOTO ANTARA)

Palembang, (ANTARA Sumsel) - Pakar lingkungan dari Universitas Sriwijaya Fachrurrozie Sjarkowi mengatakan konsep pertanian, peternakan dan perikanan cepat "agrotrisula" dapat mensejahterakan petani di sekitar perkebunan perusahaan, sehingga jika diterapkan secara masif maka akan mencegah pembakaran lahan.

"Mengapa warga mau ketika disuruh oknum perusahaan membakar lahan ?, jawabannya karena lapar dan miskin. Jika mereka kenyang dan sibuk di kebun, maka ini tidak terjadi. Oleh karena itu, pemerintah harus menawarkan kompensansi agar mereka tidak membakar, dan konsep "agrotrisula" ini sangat tepat," kata Fachrurrozie dalam diskusi bertajuk kabut asap di Palembang, Rabu.

Lulusan S2 dari Universitas Oxford, Inggris tahun 1980 ini, menjelaskan, konsep pertanian agrotrisula mengajarkan petani menanam sayur, berternak, dan bertambak ikan dalam petak lahan yang tidak terlalu luas menggunakan prinsip cepat dan terpadu, serta pemanfaatan bakteri untuk penyubur tanah.

Karena kunci dari konsep ini adalah keberadaan lahan, maka petani di sekitar lahan perkebunan harus diberikan Hak Pemakaian Kokoh (HPK) atas petak lahan.

"Jadikan mereka sibuk oleh kegiatan pertanian dan jangan biarkan hanya jadi penonton saja. Inilah akar persoalannya karena jika mereka tidak ada pekerjaan maka sangat rawan diprovokasi hanya dengan imbalan uang beberapa ratus ribu saja," kata dia.

Berdasarkan penelitiannya, konsep agrotrisula ini dapat diterapkan hanya dengan modal Rp300 ribu, dan luas lahan berukuran 2x3 meter untuk menanam tumbuhan nilam jarak dilengkapi kolam terpal.

"Dengan teknik dan standar operasi prosedur tertentu maka dalam 50 hari sudah bisa panen untuk sayur, dan dua minggu sekali untuk ikannya," kata Guru Besar Sumber Daya Alam dan Agribisnis Unsri ini.

Ia mencontohkan, nilam jarak setelah dipanen dan menggunakan teknologi pemurnian yang cukup sederhana dapat dihargai pasar sebesar Rp400 ribu/liter.

Sementara untuk hewan ternak, seperti ayam, kambing, dan lainnya akan dipelihara secara terus menerus untuk diternakkan sebagai ketahanan pangan keluarga, dan diambil kotorannya untuk menyuburkan tanah.

Untuk menjaga konsep ini tetap berlangsung secara terus menerus sehingga sampai pada tujuan mensejahterakan warga sekitar perkebunan, ia menilai perlu dibentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang dikelola oleh perangkat desa bekerja sama dengan warga.

Keberadaan BUMDes ini, menurutnya, bukan suatu keniscayaan karena UU pemerintah desa telah mewajibkan setiap desa penerima dana bantuan memiliki BUMDes yang menjadi badan pengelola kemitraan usaha desa.

"Malahan saya menilai konsep agrostrisula ini sangat cocok sekali dengan program dana desa yang memberikan bantuan sebesar Rp1,4 miliar per desa pada setiap tahunnya. Pembuatan petak lahan bagi warga dapat menggunakan dana ini, dari pada sekadar membangun pintu gerbang dusun," kata peneliti lahan gambut ini.

Dengan adanya aliran dana yang produktif ini maka akan membuat warga sekitar perkebunan menjadi mandiri karena mampu memenuhi kebutuhan dari kebun sendiri.

Pemerintah juga dapat menggandeng bahkan "memaksa" perusahaan perkebunan untuk membeli hasil pertanian cepat petani itu jika berlebih, semisal beras atau sayur bisa didistribusikan ke karyawan perusahaan.

"Konsep ini membuat rakyat berdaya sembari turut menjaga hutan, tapi jika penyelesaian kasus kebakaran hutan dan lahan sebatas penindakan maka saya berani menjamin tahun depan akan terjadi lagi," kata dia. 

Sementara itu, pakar tata kelola air dan hidrologi Momon Sodik Imanudin mengatakan saat ini disinyalir ada oknum perusahaan yang menyuruh warga untuk membakar lahan.

Perusahaan ini kemungkinan besar merupakan perkebunan kecil dengan luas lahan di atas 2 hektare karena kekurangan dana operasional untuk membuka lahan. (biaya pembersihan lahan secara membakar hanya Rp300 ribu hingga Rp600 ribu, sementara pembersihan lahan tanpa bakar butuh Rp5---Rp6 juta).

"Warga disuruh dengan uang hanya Rp300 ribu hingga Rp600 ribu, lantaran mereka dalam keadaan miskin jadi mau saja. Jadi jika ingin menuntaskan persoalan kebakaran hutan dan lahan, harus ada kompensasi agar warga tidak membakar. Intinya, mensejahterakan warga di sekitar areal konsesi," kata dia.