Praktisi: ada upaya asing mengambil alih industri sawit

id sawit, kebun sawit, ahmad rizal

Praktisi: ada upaya asing mengambil alih industri sawit

Ilustrasi - perkebunan kelapa sawit dikelola perusahaan asing (FOTO ANTARA)

Palembang (ANTARA Sumsel) - Praktisi bisnis Tanah Air Ahmad Rizal mengatakan berbagai pihak harus memandang lebih jauh terkait kebakaran hutan yang terjadi saat ini, karena bisa jadi ada upaya asing untuk mengambil alih industri sawit nasional melalui perantara.

"Saya justru curiga ada permainan apa, mengapa Singapura mau menuntut Indonesia secara legal internasional ?. Sementara seperti diketahui sebagian besar perusahaan yang bergerak di kehutanan adalah milik nasional," kata Rizal di Palembang, Senin, ketika diminta tanggapan terkait kasus kebakaran hutan dan lahan.

Sebagai seseorang yang sudah lama berkecimpung di organisasi bisnis dan profesi, ia mengatakan, Indonesia sebagai negara yang saat ini menjadi sorotan dunia terkait bencana kabut asap harus mengambil sikap yang tepat dan tidak perlu emosi, seperti menutup sejumlah perusahan.

Menurut hakim Badan Abritrase Nasional ini, setiap perusahaan seperti bubur kertas dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam kategori "besar" telah memiliki rencana perusahaan untuk jangka panjang, yakni minimal 20-30 tahun terkait pasokan bahan baku sehingga dipastikan akan menjaga kesuburan tanah.

"Aneh rasanya jika perusahaan dituduh membakar hutan, karena itu justru merugikan buat mereka. Apalagi, perusahaan ini sudah diawasi oleh badan lingkungan dunia, seperti The Forest Trust, Rainforest Alliance, dan Greenpeace, yang jika melanggar aturan terkait lingkungan maka produknya tidak ada diterima," kata Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Provinsi Sumatera Selatan ini.

Ada kemungkinan, ia melanjutkan, kebakaran lahan ini disengaja oleh oknum tertentu untuk merusak citra perusahaan sawit nasional dengan memperalat warga.

Oleh karena itu, anggota dewan penasihat Apindo Sumsel ini mengharapkan, pemerintah mawas diri karena ada kemungkinan pihak yang ingin mengambil industri sawit nasional melalui tangan lain. Pola lainnya dapat juga berupaya membuat industri sawit Indonesia mati, lalu ketika dibeli investor asing menjadi sangat murah.

Menurutnya, hal ini cukup masuk akal, karena Indonesia merupakan negara yang berada di equator (garis khatulistiwa) dengan dua musim, sementara di belahan dunia lain ada negara yang dihadapkan empat musim.

Sumber Daya Alam Indonesia demikian berlimpah, asalkan dikelola dengan baik dan berkelanjutan maka pada 20 tahun ke depan bakal menjadi sorotan dunia, karena menjadi negara pemberi makan dunia (energi dan pangan).

"Sekarang pertanyaannya, negara yang tidak tinggal di equator, bagaimana cara mereka untuk bisa eksis ?. Jika tidak memiliki kantong energi sendiri, maka dipastikan mereka menjadi negara minus dan sangat tergantung dengan negara lain," kata Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Provinsi Sumsel ini.

Untuk itu, jika berpandang lebih jauh, maka sudah sepatutnya Indonesia mewaspadai intrik-intrik yang mungkin digulirkan melalui isu lingkungan.

Seperti diketahui, ia melanjutkan, produk minyak sawit Indonesia dilarang masuk ke Amerika Serikat karena negara tersebut menerapkan standar tertentu terkait kondisi lingkungan. Isu lingkungan ini sudah lama digulirkan, termasuk kampanye bahwa minyak sawit tidak baik untuk kesehatan jika dibandingkan minyak biji matahari dan kedelai.

"Industri sawit nasional ini harus dipertahankan, jangan sampai Indonesia kalah. Mengenai kebakaran lahan, semua sudah sepakat bahwa harus dipadamkan dan dicari jalan keluarnya agar tidak terjadi lagi. Tapi, jangan karena ini bakal mengkerdilkan industri sawit nasional," kata dia.

Sementara ahli tata kelola air dan hidrologi Universitas Sriwijaya Momon Sodik Imanudin mengatakan saat ini disinyalir ada oknum yang sengaja merusak citra perusahaan perkebunan besar.

Kemungkinan juga, kebakaran hutan dan lahan ini dilakukan perusahaan perkebunan kecil dengan luas lahan di atas 2 hektare, tidak memiliki dana operasional yang besar untuk membuka lahan.

"Warga disuruh dengan uang hanya Rp300 ribu hingga Rp600 ribu, lantaran mereka dalam keadaan miskin jadi mau saja. Jadi jika ingin menuntaskan persoalan kebakaran hutan dan lahan, harus ada kompensasi agar warga tidak membakar. Intinya, mensejahterakan warga di sekitar areal konsesi," kata dia.

Sementara itu, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) terdapat 10 juta hektare perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan sekitar 44 persen di antaranya merupakan perkebunan rakyat, dan 49 persen serta 7 persen dikuasai oleh perusahaan swasta dan BUMN.

Pada 2014, industri "emas hijau" ini mampu menyerap sekitar 21 juta tenaga kerja dan berkontribusi 13 persen pada ekspor nasional, atau untuk saat ini menjadi bantalan bagi defisit negara perdagangan.

Jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, minyak sawit masih merupakan minyak nabati yang paling produktif dengan rata-rata sekitar 4,27 ton per hektare, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bunga matahari yang memiliki produktivitas sebesar 0,69 ton per hektare dan 0,52 ton per hektare. Adapun produktivitas minyak kedelai hanya sekitar 0,45 ton per hektare.

Pada 2014, produksi minyak sawit Indonesia telah mencapai sekitar 31 juta ton. Sebanyak 21,76 juta ton di antaranya diekspor ke luar negeri. Tahun ini, jumlah produksi minyak sawit diperkirakan akan meningkat menjadi 31,5 juta ton.