Ahli: Bakar lahan justru tidak menyuburkan tanah

id kebakaran lahan, sawit, lahan sawit, skat kanal, pembakaran lahan

Ahli: Bakar lahan justru tidak menyuburkan tanah

Petani sedang mengumpulkan hasil panen kelapa sawit. (FOTO ANTARA)

...Memang benar karena mendapatkan unsur hara cepat, tapi harus dingat ini hanya terjadi untuk tahun pertama karena pada tahun kedua dan seterusnya, semuanya sudah lenyap...
Palembang, (ANTARA Sumsel) - Ahli tata kelola air dan hidrologi Universitas Sriwijaya Momon Sodik Imanudin mengatakan masyarakat perlu diedukasi bahwa kegiatan membakar lahan tidak akan menyuburkan tanah melainkan membuat unsur hara lenyap dengan mudah melalui aliran air dan udara.
     
"Sebagian besar masyarakat merasa bahwa membakar akan membuat tanah lebih subur. Memang benar karena mendapatkan unsur hara cepat, tapi harus dingat ini hanya terjadi untuk tahun pertama karena pada tahun kedua dan seterusnya, semuanya sudah lenyap," kata Momon di Palembang, Jumat, dalam diskusi bersama sejumlah wartawan.
     
Ia mengatakan, ketika dibakar, unsur hara ini menjadi mudah hilang karena tidak ada kesempatan tersimpan di dalam tanah mengingat lahan yang terbakar sangat rawan erosi.
     
Kondisi ini sangat berbeda jika pembersihan lahan tanpa dibakar (ramah lingkungan). Humus ada kesempatan untuk bersembunyi di dalam tutupan tanah, semisal daun kering maka ada waktu untuk pembusukan.
     
"Jika musim hujan tiba, maka semua unsur hara ini akan tersapu ke sungai, belum lagi jika menghitung biota penyubur tanah lainnya yang turun mati akibat dibakar seperti cacing tanah, jangkrik, dan tringgiling," kata Doktor yang tak berapa lama lagi menyandang gelar profesor ini.
     
Ia mengatakan, berdasarkan riset lembaga terkemuka, kerugian akibat kehilangan unsur hara ini mencapai nominal Rp65 juta per hektare.
     
Angka nominal ini didapatkan berdasarkan asumsi atas kehilangan unsur N dan C hingga 97 persen.
     
Akibatnya, petani akan merasakan dampaknya secara bertahap pada masa mendatang dengan ditandai penurunan produksi lahan.
     
"Jika ini terjadi pada perkebunan sawit maka buahnya tidak ada sebanyak yang dihasilkan lahan yang tidak dibakar, jika ini pada perkebunan ubi maka hasilnya akan kurus-kurus," kata dia.
     
Sementara, untuk memulihkan lahan yang terbakar, menurut Momon bukan perkara mudah. 
     
Berdasarkan penelitiannya di kawasan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, setidaknya dibutuhkan waktu lima tahun dengan biaya Rp5 juta per hektare per tahun dengan menggunakan teknologi.
     
"Jika ini pembakaran lahan ini berlangsung terus menerus maka tanah akan menjadi lapar, atau terus menerus ingin makan karena unsur haranya berkurang. Tanah harus dipupuk terus dan dosisnya terpaksa ditambah terus. Akhirnya kerusakan tanah tidak dapat terelakkan lagi," kata ahli asal Fakultas Pertanian ini.
     
Tak sebatas menyosialisasikan agar masyarakat tidak membakar lahan, menurutnya, yan terpenting dilakukan yakni membuat kompensasi agar petani tidak membakar lahan.
     
"Dapat dengan cara menyediakan eskavator, traktor, dan petugas di setiap desa di saat musim tanam. Ini lebih konkret. Jika kurang dana, pemerintah dapat memanfaatkan bantuan koorporasi, dan bantuan dari negara tetangga, data kawasan-kawasan yang masyarakatnya berpotensi membakar kemudian sediakan," kata dia.
     
Kasus kebakaran lahan telah menjadi bencana nasional karena berakibat pada kabut asap di Sumatera dan Kalimantan sejak dua bulan terakhir.
     
Di Sumsel, data terakhir mencatat sebanyak 9.300 hektare lahan terbakar dan 99 persen akibat ulah manusia.