Mereka yang bersiasat menghadapi pelemahan ekonomi

id karet, petani karet

Mereka yang bersiasat menghadapi pelemahan ekonomi

Seorang buruh penyadap karet melakukan penyadapan di kebun karet (Foto Antarasumsel.com/Feny Selly)

...Nasabah yang dulunya lancar kini mulai 'batuk-batuk'. Ada pula yang pasrah saja jika mobilnya ditarik leasing...
Palembang (ANTARA Sumsel) - Pelemahan ekonomi telah menggangu kehidupan masyarakat hingga tingkat terbawah, yakni mereka yang tidak berpenghasilan tetap dan belum mapan.
         
Jika tidak piawai dalam mengambil sikap di tengah situasi ini maka bukan tidak mungkin kelompok yang sejatinya hampir sejahtera ini akan kembali terjerembap pada kemiskinan.
         
Sejumlah pedagang di Pasar Perumnas, Palembang mengeluhkan rendahnya daya beli masyarakat dalam tiga bulan terakhir sehingga berimbas pada penurunan omzet per hari.
         
Yulia Sulastri (37), pedagang bubur kacang hijau di pasar tersebut, Senin (21/9), mengatakan rendahnya daya beli ini sangat dirasakan karena tidak kunjung membaik setelah Idul Fitri pada pertengahan Juli 2015.
         
"Saat ini sedang sulit, setiap hari penghasilan terus merosot. Biasanya masuk sekitar Rp800 ribu, kini untuk mendapatkan Rp400 ribu saja sulit," ujar Yulia, warga Jalan Karyajaya III Kelurahan Lebung Gajah ini.
         
Kondisi ini memaksa Yulia mengetatkan pengeluaran keluarga, mengingat masih memiliki tiga buah hati yang sedang bersekolah di Sekolah Dasar.
         
"Mau tidak mau, jadi berhemat. Utamakan dulu untuk makan, nanti untuk beli-beli yang lain," ujar dia.
         
Tak hanya Yulia yang mengeluhkan kondisi ini, Rita Apriana (34), pedagang pakaian di pasar itu juga mengalami penurunan omzet hingga 50 persen.

"Sebelum Lebaran, bisa dapat Rp5 juta pada hari minggu. Saat ini, masuk Rp2 juta saja sudah bagus," kata warga Lorong Kavling, Kelurahan Sialang ini.
         
Untuk menghindari lilitan utang hingga kebangkrutan usaha, Rita terpaksa memangkas sejumlah kebutuhannya, mulai dari dana untuk membeli pulsa, kosmetika, pakaian, hingga uang jajan dan menabung si buah hati yang saat ini bersekolah di TK.
         
"Mau bagaimana lagi, pasar sepi. Pembeli jauh berkurang, artinya harus mulai hidup prihatin," kata dia.
         
Pedagang lainnya, Cik Yen yang berdagang tahu di pasar itu, mengatakan, dirinya sangat terpukul oleh kondisi perekonomian saat ini karena setelah Lebaran dirasakan daya beli masyarakat tidak kunjung membaik.
         
Ia yang berdagang sejak 20 tahun lalu ini terpaksa harus berjualan dari pagi hingga sore untuk mesiasati agar dagangan laku terjual.
         
"Biasanya, saya pukul 12.00 WIB sudah pulang. Tapi, karena daya beli masyarakat menurun terpaksa menunggu hingga sore. Kadang pukul 17.00 WIB baru pulang. Itu pun tidak seberapa dapatnya," ujar dia.
         
Kondisi pasar yang sepi ini juga terpantau dari areal parkir pembeli pasar itu.
         
Sakroni, petugas parkir di pasar tersebut, mengatakan, hanya belasan motor yang terparkir dari pagi hingga siang. Padahal, menurutnya, saat perekonomian belum selemah saat ini terdapat sekitar 80 motor dari pagi hingga pukul 12.00 WIB.
         
"Sulit, dapat uang Rp50 ribu saja sulit saat ini," kata Sakroni mengeluh.
        
Perekonomian Sumsel sangat bertumpu pada komoditas ekspor karet, sawit, dan mineral batu bara.
         
Pelemahan ekonomi global telah menghantam kehidupan masyarakat di provinsi ini karena data terakhir menyatakan bahwa harga getah pada tingkat petani anjlok di kisaran Rp4.000 per kg dari Rp7.000 pada awal tahun.
         
Kondisi ini jauh dari sebelumnya, yakni di saat pertumbuhan ekonomi Tiongkok mencapai 9,2 persen di tahun 2011. Pada saat itu, kehidupan masyarakat di provinsi ini terdokrak karena harga karet menembus Rp25 ribu per kg.
                 
Biarkan Kebun
    
Sejumlah petani karet di Sumatera Selatan memilih membiarkan lahan selama musim kemarau, yang mengakibatkan produksi getah berkurang.
         
Anwar, petani karet Mesuji Raya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, yang dihubungi dari Palembang, Jumat, mengatakan telah empat pekan membiarkan lahan karena produksi getah berkurang hingga 60 persen dari biasanya.
         
"Setiap bulan biasanya mendapatkan 200 kilogram getah, tapi kini berkurang drastis hanya 90 kg," kata Anwar yang telah menjadi petani karet sejak 20 tahun lalu.
         
Ia mengatakan, kondisi ini diperparah dengan menurunnya harga getah karet bongkahan dari Rp7.000 menjadi hanya Rp6.300 (pengeringan satu pekan) dan Rp5.300 (getah karet basah masa pengeringan dua hari).
         
"Jika dihitung pendapatan per bulan hanya berkisar Rp700 ribu, tentunya ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga," kata dia.
         
Lantaran itu, Anwar dan sejumlah petani karet lainnya lebih tertarik untuk bekerja di perkebunan sawit yang dikelola Koperasi Unit Desa yakni perkebunan plasma warga.
         
"Kerja dengan KUD dibayar Rp70 ribu per hari, dari pagi hingga sore. Jika pun mau tetap mengolah karet masih bisa, di malam hari. Tapi rata-rata sudah tidak mau mengurus kebun," ujar dia.
         
Senada, Kirom, petani karet Desa Tambangan Kelekar, Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muaraenim, mengatakan ia lebih suka bekerja secara serabutan sejak harga karet jatuh di tingkat petani.
         
"Apa saja dikerjakan, mulai jadi tukang bangunan, menangkap ikan, atau kerja di perkebunan sawit, yang penting boleh uang untuk makan," kata dia.
         
Ia mengatakan, penurunan harga karet demikian terasa sejak awal tahun dan tidak kunjung membaik hingga kini.
         
Keadaan ini dibarengi juga dengan meningkatnya harga kebutuhan bahan pokok sehingga semakin memberatkan petani karet.

         
"Harapannya, pemerintah mengatasi masalah ini. Bagaimana caranya agar harga karet ini sesuai, dalam arti tidak merugikan petani. Ini serba salah, di panen salah, tidak dipanen salah juga," kata dia.
               
Penjadwalan ulang kredit
    
Kondisi lemahnya daya beli pedagang pasar dan petani karet ini juga berimbas industri pembiayaan kendaraan bermotor.
         
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan (APP) Provinsi Sumatera Selatan dan Bangka Belitung Iwan di Palembang, Minggu, mengatakan rasio kemampuan nasabah mengembalikan pinjaman (NPL) perusahaan pembiayaan sudah mendekati ambang batas toleransi yakni 5 persen pada akhir Agustus 2015.
         
Ketidaklancaran dalam pembayaran kredit ini telah menggerus pertumbuhan bisnis pembiayaan hingga 30-40 persen jika dibandingkan tahun lalu.
         
"Perlambatan sebenarnya sudah terasa sejak tahun lalu, tapi puncaknya terjadi setelah Lebaran tahun ini. Bisa dikatakan untuk mendapatkan nasabah baru sudah sangat sulit saat ini karena masyarakat dipaksa membuat skala prioritas dalam memenuhi kebutuhannya," kata dia.
         
Ia mengemukakan, saat ini sudah muncul tren kesulitan membayar kredit di kalangan nasabah sehingga mulai lazim ditemui adanya penarikan kendaraan oleh perusahaan lisin.
         
"Nasabah yang dulunya lancar kini mulai 'batuk-batuk'. Ada pula yang pasrah saja jika mobilnya ditarik leasing," ujar dia.
         
Menghadapi kondisi ini, menurutnya, perusahaan pembiayaan tidak ada pilihan selain bertahan yakni menjaga para nasabah tetap membayar ansuran, salah satunya dengan menawarkan restrukturisasi kredit.
         
"Untuk tahap awal, biasanya perusahaan akan menawari perpanjangan masa pengembalian, tapi jika cara ini justru memberatkan atau malah membuat utang nasabah semakin bertumpuk maka mau tidak mau mengunakan alternatif terakhir yakni kendaraan ditarik," kata dia.
         
Di tengah situasi yang belum membaik ini, tak hanya persoalan pertumbuhan bisnis, APP juga mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja di sejumlah perusahaan pembiayaan.
         
"Memang saat ini belum ada yang mem-PHK, tapi jika situasi tidak berubah hingga akhir tahun maka mau tidak mau PHK menjadi salah satu solusi untuk menekan biaya produksi," ujar dia.     
    
Untuk itu, APP berharap pemerintah segera membenahi perekonomian dalam negeri dengan menjaga kestabilan nilai mata uang rupiah terhadap dolar mengingat sangat berdampak pada bisnis pembiayaan kendaraan.
        
"Kenaikan harga kendaraan sudah mulai terasa karena kenaikan harga dolar. Jika harga naik, sementara daya beli masyarakat semakin menurun maka sulit untuk bertahan dalam kondisi ini," kata dia.
         
Namun, di tengah pelemahan ekonomi ini masih terselip optimitisme seiring dengan kebijakan pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang berfokus pada pembangunan infrastruktur.
        
Sumsel sebagai tuan rumah Asian Games pada 2018 akan membangun sejumlah proyek infrastruktur transfortasi yakni kereta api ringan (LRT) dengan nilai proyek Rp7 triliun, jalan tol Palindra dengan nilai proyel Rp3,2 triliun, dan fasilitas pendukung Asian Games dengan nilai Rp16 trilun. Kemudian, kebagian juga infrastruktur pembangkit listrik 3.300 MW.
         
Deputi Kepala Perwakilan BI Wilayah VII Sumsel Juli Budi mengatakan kebijakan ini sedikit menyelamatkan perekonomian Sumsel dari keterpurukan akibat pelemahan ekonomi global.
         
Lantaran itu Bank Indonesia optimistis pertumbuhan ekonomi di Sumatera Selatan mampu menembus 5,2 persen pada triwulan IV karena terjadi penyerapan anggaran infrastruktur sejak pertengahan tahun, kata 
    
"BI sangat optimitis target pertumbuhan ekonomi 2015 sebesar 5,2-5,7 persen dapat tercapai karena pembangunan infrastruktur di Sumsel cukup gencar, seperti jalan tol dan jembatan," kata Juli di Palembang, Kamis.
         
Ia tidak membantah pertumbuhan ekonomi Sumsel melambat sejak awal tahun yakni ditandai dengan angka 4,74 persen pada triwulan I dan 4,87 persen pada triwulan II.
         
Hal ini dipengaruhi oleh pelemahan ekonomi global sehingga produksi karet yang dihasilkan perkebunan di Sumsel menjadi tidak terserap secara optimal.
         
Tapi, sejak pertengahan tahun terjadi aliran dana yang cukup besar ke Sumsel untuk sejumlah proyek transportasi, di antaranya untuk kebutuhan pembebasan lahan.
         
Kondisi ini turut mempengaruhi perekonomian di Sumsel meski terhempas  oleh anjloknya harga karet hingga ke titik terendah yakni Rp5.000 per kg di tingkat petani.
         
"Jika berasumsi dari capaian pertumbuhan ekonomi per triwulan maka terlihat bahwa trennya meningkat, sehingga sangat dimungkinkan sekali pada triwulan III dan triwulan IV akan terus menanjak sehingga ditutup di angka 5,2-5,7 persen," kata dia.
         
Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2015 ini lebih besar dari capaian pertumbuhan ekonomi di tahun 2014 yakni mencapai 4,87 persen.
         
Menurut Juli, asumsi ini dilatari prediksi bahwa perekonomian global bakal membaik di tahun 2015.
         
Tapi, ia tidak membantah bahwa perekonomian dunia masih melambat sehingga berpengaruh pada ekspor, sementara di dalam negeri sendiri terjadi defisit transaksi berjalan.
        
"Kondisi ini jelas menjadi pukulan tersendiri bagi Sumsel yang perekonomiannya sangat tergantung dengan komoditas ekspor karet. Tapi, kondisi ini sedikit terbantu oleh gencarnya pembangunan infrastruktur," kata Juli.
         
Kondisi pelemahan ekonomi yang saat ini terjadi sejatinya tidak hanya terjadi di Indonesia tapi di seluruh dunia.
         
Dalam kondisi ini, dibutuhkan kearifan berbagai komponen masyarakat dalam menggunakan uang yang dimiliki.
         
"Situasi ini kapan pun bisa terjadi, cara terbaik menghadapinya yakni mulai mengedepankan skala prioritas," kata Ketua Tim Penasihat Asosiasi Perusahaan Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia (Apparindo) Freddy Pieloor.