Menyelamatkan petani karet

id petani karet, karet, perkebunan karet, ekspor

Menyelamatkan petani karet

Petani karet (FOTO ANTARA)

...Bisa dikatakan inilah masa tersulit bagi petani karet. Harga sangat murah dan diperparah oleh getah juga sedikit yang keluar karena sedang musim kemarau...
Palembang (ANTARA Sumsel) - Krisis ekonomi global telah memberikan pukulan keras bagi petani karet di Sumatera Selatan yang selama puluhan tahun mengantungkan hidup pada komoditas ekspor perkebunan.

Anwar (55), petani karet di Kecamatan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, mengatakan pekan keempat September 2015 menjadi pukulan terberat bagi mereka karena harga getah karet berada di titik terendah sejak tahun 2013.

Pengumpul pada awal tahun 2015 masih menghargai getah Rp7.000 perkilogram tapi kini hanya Rp5.300 perkilogram untuk karet basah (masa pengeringan dua hari).

Sedangkan karet dengan masa pengeringan satu pekan (masih kotor) hanya dihargai Rp6.300 perkilogram.

"Bisa dikatakan inilah masa tersulit bagi petani karet. Harga sangat murah dan diperparah oleh getah juga sedikit yang keluar karena sedang musim kemarau," kata dia.

Lantaran kemarau tersebut, menurut Anwar sebagian besar petani karet memutuskan tidak mengambil getah dan membiarkan begitu saja areal perkebunannya.

Untuk tetap bertahan, Anwar dan sebagian besar petani karet di Mesuji bekerja di perkebunan sawit dengan upah harian berkisar Rp70 ribu di bawah pengaturan Koperasi Unit Desa.

Menurutnya, hasil itu terbilang lumayan dibandingkan bertahan memetik hasil dari perkebunan yang hanya meraup sekitar Rp700.000 hingga Rp800.000 perbulan dari produksi 120 kilogram getah karet.

 "Saat ini saya kerjanya sama KUD, yakni memetik buah sawit di kebun plasma milik kelompok tani. Buah sawit ini dikumpulkan untuk dijual ke perusahaan PT Sampoerna Agro dengan harga Tandan Buah Segar (TBS) Rp1.100 perkilogram. Harga ini juga sudah turun jika dibandingkan bulan lalu yakni Rp1.700 perkilogram," ujar dia.

Kirom (65), petani karet di Desa Tambangan Kelekar, Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muara Enim juga mengeluhkan hal yang serupa.

Menurutnya, sejumlah rekannya terpaksa menjual sebagian lahan perkebunan dengan harga murah untuk tetap bertahan di tengah kondisi perekonomian yang sedang lesu saat ini.

"Saat lagi jaya-jayanya (tahun 2011, red) harga satu hektare bisa Rp150 juta, tapi kini sudah ada yang jual Rp60 juta saja," kata petani yang sudah menggeluti perkebunan karet sejak 30 tahun lalu itu.

Ia sendiri berjuang keras agar lahan tidak sampai terjual karena merupakan satu-satunya tumpuan hidup keluarga.

"Selagi masih bisa berhemat, makan seadanya, tidak apa-apalah. Jangan sampai kebun dijual. Jika pun terpaksa, setidaknya jual dengan sanak keluarga saja, nanti jika sudah ada uang dibeli lagi," ujar dia.

Penurunan perdapatan secara drastis itu telah mempengaruhi kehidupan masyarakat perkebunan di beberapa kabupaten/kota di Sumsel sejak tahun 2013.

Maklum saja, pada masa keemasan yakni periode 2010-2011 ketika pertumbuahan ekonomi di Tiongkok sebesar 9,2 persen, harga getah karet di tingkat petani berada di kisaran Rp20.000 hingga Rp25.000 perkilogram.          
    
Keadaan itu membuat kehidupan masyarakat perkebunan Sumsel menjadi makmur karena tingginya serapan ekspor.

Tak jarang, ketika melintasi kawasan pemukiman penduduk di desa yang memiliki puluhan hektare lahan perkebunan karet terlihat beberapa unit mobil dalam kondisi baru sedang terparkir di garasi.

Namun, seiring dengan pelemahan ekonomi di Eropa yang berimbas ke Tiongkok dan India sebagai negara produsen barang membuat harga karet di pasaran ekspor pun ikut terpuruk.

Rendahnya permintaan dan semakin banjirnya karet di pasaran ditengarai sebagai penyebab utama anjloknya komoditas andalan Sumsel itu.
    
Percepat Hilirisasi
    
Deputi Kepala Kantor Bank Indonesia Wilayah VII Sumatera Selatan Juli Budi Winantya mengatakan pemerintah harus mendorong percepatan hilirisasi karet karena harga komoditas ekspornya terus anjlok di tingkat petani hingga berkisar Rp4.000 perkilogram.

"Tidak ada cara lain selain mengakselerasi hilirisasi karet di dalam negeri. Jika hanya berharap pada perbaikan perekonomian dunia maka mau sampai kapan," kata Juli di Palembang, Selasa (22/9).

Ia mengemukakan, Bank Indonesia telah merumuskan beberapa langkah yang harus ditempuh pemerintah dalam hilirisasi karet jangka pendek untuk mengurangi tekanan ekonomi petani.

"Langkah dapat diawali dengan mensinergikan dan menyebarluaskan hasil penelitian akademisi yang relevan terkait dengan pengembangkan produk karet bernilai, tapi dengan cara sederhana," kata dia.

Kemudian, mendorong penyerapan dalam negeri terhadap hasil industri menengah kecil skala rumahan berbahan baku karet alam, mengarahkan dan memfasilitasi petani untuk membentuk Gabungan Kelompok Tani dan Koperasi.

Lalu, mendorong terbentuknya klaster karet yang melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah, industri hulu dan hilir, pasar lokal dan kopersi.

"Langkah-langkah cepat ini harus diambil karena daya beli masyarakat Sumsel yang hidupnya mengandalkan komoditas terus turun, akibatnya pertumbuhan ekonomi Sumsel yang tertahan kinerjanya karena pelesuan industri karet," kata dia.     
    
Ia mengemukakan, petani karet harus didorong meningkatkan nilai tambah dari produk yang dihasilkan seperti yang dilakukan sejumlah kelompok tani di Jambi yakni mengolah getah karet berbentuk bongkahan menjadi lembaran.

"Dengan diolah sekitar dua pekan, bongkahan karet yang harganya hanya Rp4.000 hingga Rp5.000 perkilogram saat ini bisa menjadi Rp15.000 perkilogram jika sudah diolah berbentuk lembaran dengan alat seharga Rp10 juta," kata dia.

Menurutnya, pola itu dapat dijadikan solusi dibandingkan berdiam diri menanti perekonomian dunia membaik seperti yang terjadi di tahun 2011.

Juli mengatakan, di tengah pelemahan ekonomi dunia yakni Tiongkok yang hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi dikisaran 7,2 persen di tahun 2015, petani karet Sumsel harus bangkit dari keterpurukan dengan mau mencoba membuat industri olahan getah karet.

"Pelemahan ekonomi yang terjadi saat ini jangan membuat petani karet menyerah, tapi menjadi pelecut untuk maju. Sebenarnya, ini saat yang tepat mulai membuat produk yang memiliki nilai tambah atau tidak sebatas menjual bongkahan olahan getah saja selama puluhan tahun," kata Juli.

Menurut dia, kuncinya adalah mendapatkan pasar dalam negeri, seperti keberhasilan yang didapatkan petani karet di Jambi yang memiliki konsumen pengusaha UMKM dari Yogyakarta.

Terkait pasar dalam negeri tersebut, Juli mengatakan BI akan mencoba membantu dengan mencarikan industri-industri yang membutuhkan lembaran karet.

"Tinggal lagi petaninya mau atau tidak, bukannya di mana ada kemauan di situ ada jalan," tutup Juli.

Pasar dalam negeri
    
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan Alex K Eddy sepakat bahwa penyediaan pasar dalam negeri dapat dijadikan solusi oleh pemerintah untuk mengatasi lemahnya penyerapan dari luar negeri yang telah mengakibatkan penurunan harga di tingkat petani.

Pemerintah harus bergerak cepat dalam menyediakan pasar dalam negeri untuk mengurangi ekspor yang mencapai 3 juta ton pertahun.

"Gapkindo telah beberapa kali pertemuan dengan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian terkait dengan pasar dalam negeri ini, sejauh ini respon sangat positif sekali dan menunggu realisasinya dari pemerintah, dalam arti mulai menyerap dalam jumlah besar," kata Alex.

Ia mengatakan, pemerintah berjanji memberikan pasar dalam negeri seiring dengan keberpihakan pada sektor infrastruktur, yang artinya membutuhkan sejumlah bahan baku berbahan karet.

Berbagai produk diperkirakan bisa dihasilkan pengusaha karet dalam negeri, seperti pembuatan aspal, dok kapal, sistem antigempa gedung dan rel kereta api yang menggunakan bantalan karet dan bahan untuk pintu air irigasi.

Untuk tahap awal, Gapkindo menargetkan sebanyak 600 ribu ton karet diserap di pasar dalam negeri atau meningkat dari sebelumnya hanya 450 ribu ton.

"Tinggal bagaimana cara pemerintah agar industri hilirisasi ini bisa tumbuh karena bahan bakunya sudah ada," kata dia
    
Menurutnya, suplai karet ke luar negeri harus dikurangi karena harga terus turun akibat membludaknya pasokan di luar negeri di tengah penuruman ekonomi di negara pengimpor karet.

Kondisi ini semakin diperparah dengan munculnya tiga negara baru pengekspor karet yaitu Laos, Vietnam, Myanmar dan Kamboja yang disebut-sebut memiliki kualitas getah karet lebih baik dari Indonesia.

Seperti diketahui, karet asal Indonesia memiliki citra kurang baik karena produknya kotor (tidak bersih).

"Harga semakin turun dan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan petani, jika tidak ada intervensi dari pemerintah untuk mengatasi persoalan ini maka bisa jadi ke depan tidak ada lagi yang mau menanam karet," ujar dia.

Sumatera Selatan merupakan provinsi yang menggantungkan perekonomiannya pada perkebunan karet dan kelapa sawit serta pertambangan mineral batu bara.

Khusus perkebunan karet, berdasarkan Dinas Perkebunan Provinsi Sumsel pada 2013 tercatat sebanyak 648.457 petani menggantungkan hidup di sektor itu dengan luas lahan mencapai 1.232.038 hektare.

Jumlah tenaga kerja perkebunan karet menjadi yang terbesar disusul kelapa sawit dengan 205.750 petani.

Karet sendiri menjadi komponen ekspor terbesar Sumsel sejak puluhan tahun yakni mencapai 67,36 persen pada 2015, disusul batu bara dengan 11,95 persen dan sawit dengan 10,19 persen.

Lantaran itu, goncangan di perkebunan karet ini turut menggerus kinerja perekonomian daerah dengan ditandai angka pertumbuhan ekonomi hanya 4,74 persen pada triwulan I dan 4,87 persen pada triwulan II.

Kini, di tengah pelemahan ekonomi yang melanda produk ekspor itu, sepatutnya berbagai pihak memaknainya sebagai pemicu untuk mandiri.

Sudah saatnya petani dan pemerintah saling bersatu padu untuk menaikkan derajat perkebunan karet Sumsel yang selama ini sebatas penyedia barang mentah.

Petani diharapkan memperbaiki kualitas dengan menghasilkan produk olahan bermutu, sementara pemerintah fokus pada penyediaan infastruktur untuk mendorong munculnya investor agar masyarakat mendapatkan kehidupan lebih baik. ***3***