Melestarikan perahu bidar untuk wisata Palembang

id perahu bidar

Melestarikan perahu bidar untuk wisata Palembang

Sejumlah warga menyaksikan lomba perahu bidar dari atas perahu yang ditambatkan di depan Benteng Kuto Besak, Palembang, Senin (17/8).Foto Antarasumsel.com/Dolly Rosana/15

...Saya ingat betul, bapak penyisihannya saja membutuhkan waktu hingga dua hari. Tapi, saat ini sedikit sekali, padahal fasilitas untuk menontonnya sudah lebih baik...
Lomba perahu tradisional bidar telah menjadi agenda wajib selama puluhan tahun di Kota Palembang, Sumatera Selatan, pada setiap perayaan HUT RI, 17 Agustus.

Adu cepat perahu dengan panjang 30 meter yang didayung 57 orang pria ini tetap bertahan dari zaman Kesultanan Palembang hingga kini meski peminatnya semakin menurun.

Direktur PT Jasa Marga, Adityawarman yang masa kecilnya dihabiskan di Palembang, mengatakan, pada era 60-70-an terdapat antara 60-70 tim yang ambil bagian pada lomba yang diselenggarakan setiap tahun di Sungai Musi itu.

Namun, menjadi sesuatu yang mengejutkan baginya ketika mendapati kenyataan bahwa hanya delapan tim yang mengikuti lomba bidar kali ini.

"Saya ingat betul, bapak penyisihannya saja membutuhkan waktu hingga dua hari. Tapi, saat ini sedikit sekali, padahal fasilitas untuk menontonnya sudah lebih baik. Warga cukup berdiri di koridor Benteng Kuto Besak yang langsung berhadapan muka dengan Sungai Musi," kata Aditya di sela-sela kegiatan "BUMN Membangun Negeri" seusai menyaksikan lomba perahu bidar, Senin (17/8).

Ia menceritakan, pada masa kecilnya itu, dirinya harus naik perahu atau menumpang rumah rakit (rumah tradisional di pinggir Sungai Musi) untuk menonton lomba tersebut bersama keluarga.

Atau, ia melanjutkan, jika tidak mendekati sungai maka alternatif lainnya yakni menyaksikan dari Jembatan Ampera. Namun, cara ini juga tidak mudah karena jembatan kebanggaan "Wong Palembang" ini sudah menjadi lautan manusia di saat perhelatan lomba bidar.

"Saat itu susah sekali. Sebenarnya, saya tidak menyangka bahwa pada hari ini bisa menyaksikan lomba bidar dari kursi VIP. Ada rasa suka cita dalam diri, tapi sayang, perahu bidarnya cuma sedikit, tidak sebanyak dulu," kata pria kelahiran Palembang, 25 Oktober 1955 ini.

Menurutnya, kenyataan ini patut menjadi perhatian bersama karena jika tidak dilakukan upaya serius maka lomba bidar hanya akan menjadi kenangan bagi generasi mendatang.

Padahal, banyak nilai yang terkandung dalam lomba bidar ini seperti memberikan pemahaman bagi generasi muda bahwa para leluhurnya sudah memiliki budaya sendiri yang tidak kalah dengan negara lain, yakni budaya menggelar kegiatan besar berupa perlombaan untuk memperingati suatu hari besar.

"Negara Thailand saja memiliki lomba perahu naga yang dikelola dengan baik hingga kini untuk menggaet wisatawan. Mengapa Palembang tidak mencontoh Thailand?. Intinya jangan sampai orang Indonesia akhirnya terpaksa datang ke Thailand untuk menyaksikan lomba perahu," ujar pria yang berkarier di Jasa Marga sejak 1983 ini.

Untuk itu, sebagai putra daerah Sumsel, Aditya berjanji akan menggalang kekuatan dari kalangan BUMN untuk melestarikan perahu bidar tradisional ini.

Ia mengatakan, persoalan-persoalan yang terjadi terkait hampir punahnya perahu bidar ini akan diungkapkannya pada laporan ke Kementerian BUMN dalam kegiatan BUMN membangun negeri yang mengusung semangat "Ayo Kerja".

"Saya akan ceritakan, bahwa lomba bidar ini sulit bertahan karena harga perahu yang mahal yakni sekitar Rp60 juta. Namun, tak hanya persoalan harga, tapi juga kesulitan mendapatkan bahan bakunya," kata dia.

Pada masa lalu, perahu untuk lomba bidar diperoleh dari satu batang kayu karena masih banyak ditemukan pohon dengan tinggi lebih dari 30 meter.

Namun, seiring dengan menipisnya bahan baku itu maka pembuat perahu mensiasatinya dengan menyambung beberapa batang kayu.

"Tetap saja tidak mudah, karena untuk mendapatkan kayu yang bagus harus menebang pohon yang ada di hutan. Ini berkaitan juga dengan aturan di Kementerian Kehutanan. Mengenai ini, saya berjanji akan membicarakannya," kata dia.

Mengenai sokongan dana, Aditya cukup optimitis dapat teratasi mengingat di Sumsel terdapat sekitar 30 BUMN yang beroperasi, baik di bidang pertambangan, pertanian, perkebunan, hingga sektor jasa.

"PT Pusri, PT Bukit Asam, PT Semen Baturaja, adalah BUMN yang memang beroperasi di Sumsel. Kontribusinya sudah sangat besar sekali untuk skala nasional, jadi saya rasa tidak sulit jika setiap BUMN menjadi bapak angkat untuk satu tim bidar," ujar dia.

Ia mengharapkan, pada perayaan HUT RI tahun mendatang, keinginan ini sudah terlaksana dengan setidaknya terdapat 16 tim bidar seperti halnya jumlah kecamatan di Palembang.

Aditya menilai, hadiah yang akan diberikan juga harus sebanding mengingat jumlah pedayung mencapai 57 orang dan harga perahu sekitar Rp60 juta.

"Jika ini dikembangkan dengan baik, maka dapat mendongrak sektor pariwisata Palembang. Saya melihat, sektor ini belum digarap secara maksimal, padahal wisata sungai tidak semua provinsi di Indonesia memiliki," kata dia.

Sementara, Pelaksana Tugas Wali Kota Palembang Harnjoyo yang diwawancarai dalam kesempatan yang sama mengatakan sangat menyambut baik keinginan kalangan BUMN tersebut mengingat pemerintah kota dihadapkan persoalan keterbatasan dana untuk melestarikan bidar.

Pemkot Palembang hanya menggelar dua kali agenda lomba bidar yakni pada perayaan HUT Kota Palembang 16 Juni dan HUT RI pada 17 Agustus dengan menunjuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tertentu menjadi sponsor dari tim yang ada.

"Benar apa yang dikatakan, bahwa bisa jadi jika tidak dicarikan solusinya maka bidar ini akan punah. Padahal ini, adalah warisan leluhur yang sungguh tidak ternilai yang mengajarkan kerja sama tim, kerja keras dalam mencapai tujuan, dan kecintaan terhadap Tanah Air," kata dia.

Menurut sejarah, Harno menceritakan, lomba perahu bidar atau dikenal dengan lomba perahu mencawang pada era Kesultanan Palembang yang diselenggarakan untuk memberikan semangat kepada tim patroli sungai dalam menjaga kedaulatan wilayah kekuasaan.

Sungai Musi sebagai jalur utama perdagangan ketika itu memiliki 108 anak sungai dengan panjang puluhan kilometer.

Untuk mengamankan perairan anak sungai ini dari perampok maka dibentuklah tim patroli yang diperkuat oleh puluhan pedayung gagah dan berani untuk mengayuh perahu berukuran panjang.

Pada masa itu, tidak ada ukuran standar untuk perahu bidar mengingat hanya berpatokan pada menggunakan satu batang kayu berukuran panjang yakni sekitar 30 meter.

Butuh bapak angkat

Yamid (50), warga Sungai Lebung Pemulutan yang menjadi pemimpin tim bidar peserta lomba bidar HUT RI kali ini mengatakan, tidak mudah untuk membuat perahu bidar karena membutuhkan dana sekitar Rp60 juta.

"Setelah memiliki perahu, urusannya juga belum selesai karena tim juga harus memiliki 'garasi'/tempat tambat yang dibuat di pinggir sungai. Biaya yang membuatnya sekira Rp3 juta," kata dia.

Menurutnya, biaya itu dikeluarkan secara swadaya yakni mengumpulkan sumbangan dari warga kampung.

"Untuk bertahan jelas tidak mudah, lantaran itu, tim bidar tidak mungkin bisa bertanding jika tidak ada sponsor. Padahal tugas sponsor hanya membelikan baju kaos dan sekarang minuman ketika bertanding," kata dia.

Pedayungnya sendiri tidak dibayar, tambah Yamid, karena semua dilakukan atas dasar sukarela dan kesenangan turut meramaikan HUT RI.

"Jika menang barulah uang hadiah dibagi rata setelah dikurangi biaya pemeliharaan perahu," kata Yamid seusai menerima hadiah sebagai juara satu lomba bidar HUT RI berupa uang Rp11 juta dari Pemkot Palembang dan Rp45 juta dari PT Jasa Marga.

Sebagai penggiat bidar, Yamid mengaku sedih atas situasi saat ini karena lomba tidak sesemarak seperti tahun 70-an.

"Keaktivan baru terasa pada satu atau dua bulan menjelang 17 Agustus. Berbeda dengan era dahulu yakni setiap kampung sering adu bidar di anak sungai atau tidak mesti menunggu perayaan 17 Agustus," kata dia.

"Beruntung sungai di kampung saya masih dalam, jadi masih bisa buat latihan bidar, tapi kampung-kampung lain malah sungainya sudah tidak ada akibat tingginya aktivitas manusia dalam membangun perkampungan," kata dia.

Tak hanya itu, pria paruh baya ini mengatakan, minat generasi muda juga menurun untuk mengikuti lomba ini sehingga sebagian besar pedayung merupakan pria berusia 40 tahun ke atas.

"Anak-anak muda saat ini lebih suka dengan kegiatan lain, mereka tidak tahu bahwa bidar ini peninggalan leluhur yang sangat berharga. Jika dibiarkan, bisa jadi tontonan seperti ini tidak ada lagi di Palembang karena punah," ujar dia.

Namun, jika saja ada yang berminat menjadi bapak angkat yakni secara berkesinambungan membina maka ia berkenyakinan para anak muda akan tertarik seiring dengan banyaknya kompetisi yang dijalankan pemerintah.

"Sebenarnya yang paling penting yakni bagaimana menggelorakan bidar ini bagi anak muda," ujar dia.     
   
Kota Palembang saat ini berjuang mewujudkan cita-cita sebagai kota wisata sungai pertama di Indonesia dengan telah menjalin kerja sama dengan BUMN pengembang pariwisata (PT ITDC) untuk membangun hotel dengan 20 lantai di tepi Sungai Musi, dan beberapa kawasan wisata.

Kini, saatnya bagi Sumatera Selatan meraih berkah dari sektor pariwisata setelah cukup dikenal di mancanegara karena perannya menjadi tuan rumah berbagai ajang olahraga skala internasional.

Ada baiknya, Sumsel fokus menggali potensi budaya sendiri, seperti melestarikan perahu bidar yang tidak kalah menarik dengan yang ada di negara-negara lain.