Palembang, (ANTARA Sumsel) - Restrukturisasi kredit nasabah dalam
situasi pelemahan ekonomi global saat ini memerlukan kearifan dari
kalangan perbankan sehingga tidak mematikan semangat berbisnis para
wirausaha, kata Kepala Otoritas Jasa Keuangan Sumatera Selatan
Patahudin.
"Persoalan restrukturisasi kredit itu bukan hal yang baru dalam
industri jasa keuangan, terutama perbankan. Bisa dikatakan suatu yang
normal karena tidak semua nasabah memiliki kemampuan membayar sesuai
dengan rencana. Namun, untuk saat ini perlu mempertimbangkan situasi
perekonomian dunia yang memang sedang melambat," katanya di Palembang,
Rabu.
Perbankan, katanya, diminta arif menyikapi keadaan kegagalan
pembayaran kredit mengingat perekonomian Sumsel sedang diuji sebagai
imbas pelemahan ekonomi global.
Hingga kini, perekonomian Sumsel masih bergantung dengan komoditas ekspor yakni karet, sawit, dan batu bara.
"Jadi harus dilihat, nasabah ini tidak mampu membayar karena apa,
apakah karena karakternya yang memang tidak mau melunasi kewajiban,
apakah karena dipengaruhi faktor eksternal," ujar dia.
Lantaran itu, perbankan diharapkan menjalankan program
restrukturisasi dengan memberikan pengurangan pembayaran angsuran per
bulan dengan cara menambah jangka waktu pengembalian kredit.
"Semisal, pada rencana awal diperkirakan mampu membayar sekira Rp3
miliar per tahun, tapi setelah dipengaruhi pelemahan ekonomi global
menjadi hanya mampu Rp1 miliar per tahun, maka akan lebih baik
direstrukturisasi dibandingkan langsung dimatikan seperti penyitaan aset
atau lainnya," kata dia.
Tapi, ia melanjutkan, perbankan juga harus menilai lebih jauh
mengingat terdapat usaha yang diprediksi akan semakin memburuk pada masa
datang sehingga langkah "dimatikan" sejatinya menjadi langkah terbaik.
"Ada juga persoalan lain, direstrukturisasi justru menjadi
persoalan baru karena membuat kewajiban semakin panjang dan memberatkan
jadi maka lebih baik distop saja. Artinya, memang harus arif cara
memandangnya," kata dia.
Kepala BCA Palembang Otovianus membenarkan perusahaannya telah
merestrukturisasi beberapa kredit nasabah "besar" yang mengalami gagal
pengembalian.
"Ada yang direstrukturisasi tapi ada yang dilanjutkan dengan
penyitaan aset. Semua dilakukan untuk meminimalisasi kerugian baik dari
bank dan nasabah," kata Otovianus.
Berdasarkan laporan kinerja perbankan pada triwulan I/2015
diketahui terjadi peningkatan NPL (rasio kemampuan pengembalian
kredit/rasio kredit macet) dari semula sekitar dua persen menjadi empat
persen. Sementara batas atas yang ditetapkan OJK untuk NPL bank yakni
lima persen.
Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Selatan mencatat
realisasi ekspor Januari-Februari 2015 anjlok 18 persen menjadi 456,03
juta dolar AS dari periode yang sama tahun lalu sebesar 556,67 juta
dolar AS.
Komoditas karet yang menjadi penyumbang terbesar ekspor Sumsel
mengalami kemerosotan hingga 43,47 persen pada periode tersebut.
OJK: Restrukturisasi kredit perlu kearifan perbankan
....diminta arif menyikapi keadaan kegagalan pembayaran kredit mengingat perekonomian Sumsel sedang diuji sebagai imbas pelemahan ekonomi global....