Budayawan: Prasasti Talang Tuwo acuan Hari Bumi

id budayawan, taufik rahzen, prasasti talang tuwo, hari bumi, budaya melayu, akar budaya nusantara, seminar internasional, sriwijaya

Budayawan: Prasasti Talang Tuwo acuan Hari Bumi

Ilustrasi (Foto IST)

....Earth Day` biarkan saja, itu berlaku secara internasional, tapi Indonesia sebagai tempat ditemukannya Prasasti Talang Tuwo juga harus memiliki hari bumi sendiri. Biarkan saja namanya Hari Bumi dan nanti disebarluaskan ke seluruh dunia, seperti me
Palembang, (ANTARA Sumsel) - Budayawan terkemuka Tanah Air Taufik Rahzen mengatakan pemerintah seharusnya menjadikan Prasasti Talang Tuwo yang ditemukan di Palembang, Sumatera Selatan pada 1920 sebagai acuan untuk memperingati hari bumi.

Taufik yang dijumpai seusai menjadi pembicara pada seminar internasional "Budaya Melayu Sebagai Akar Tradisi Nusantara" di Palembang, Senin, mengatakan, sementara ini Indonesia masih tergabung dengan sekitar 90 negara yang sepakat memperingati hari bumi setiap 22 April atau belum mengaplikasikan penemuan dari prasasti abat ke-7 ini.

"`Earth Day` biarkan saja, itu berlaku secara internasional, tapi Indonesia sebagai tempat ditemukannya Prasasti Talang Tuwo juga harus memiliki hari bumi sendiri. Biarkan saja namanya Hari Bumi dan nanti disebarluaskan ke seluruh dunia, seperti mengajak India, Thailand, atau negara-negara yang ada kaitan dengan Sriwijaya," kata Taufik.

Ia mengatakan, dalam prasasti Talang Tuwo ini merupakan modal kultural yang luar biasa bagi bangsa karena berisikan cita-cita dan harapan mengenai suatu masyarakat yang ideal.

Menurut dia, nilai-nilai dalam prasasti ini memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari piagam hak asasi (Declaration Of Independence Of di Amerika pada 4 Juli 1776).

"Di dalamnya bukan persoalan manusia dengan manusia saja seperti dalam piagam hak asasi, ada menyangkut hubungan manusia dengan manusia, manusia dalam keluarga, manusia dengan alam, hewan dengan hewan, manusia dengan antargalaksi, dan terakhir menjadikan manusia bersatu dengan alam," kata dia.

Para berbagai pihak terkait harus menyadari bahwa prasasti ini bisa dijadikan titik tolak mengenai konsep dunia seperti apa yang menjadi cita-cita bersama.

"Oleh karena itu saya menyarankan dijadikan landasan penetapan hari bumi," kata dia.

Jika ini sudah disadari, maka langkah berikutnya dengan menetapkan tanggal karena penetapan hari bumi internasional pada 22 April hanya bersumber dari manusia atau bukan dari dasar yang kuat semisal dari prasasti.

Terkait dengan tanggal ini, menurutnya, sebaiknya antara tanggal 20 Maret dan 21 Maret karena berdasarkan prasasti tertera bahwa Prasasti Talang Tuwo dikeluarkan pada dua hari dalam bulan purnama (atau bukan setelah bulan purnama seperti pada saat penerjermahan pertama yang mengatakan 23 Maret).

"Tanggal ini sangat pas karena di beberapa negara juga ada momen berharga, seperti di Jepang sebagai pertanda musim semi pertama, dan perayaan Nyepi karena saat itu bulan dan matahari berada dalam satu garis. Sementara, Indonesia memiliki bukti otentik seperti yang tertara pada prasasti dengan tulisan 606 saka (tahun Jawa)," kata dia.

Untuk itu, budayawan kelahiran Sumbawa dan sempat menjadi penasihat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap Palembang tidak menyia-yiakan kesempatan ini untuk menjadi kota penting di dunia dalam penyelamatan bumi.

Butir-butir dalam prasasti Talang Tuwo itu demikian luhur sehingga harus disebarluaskan ke penduduk dunia.

Prasasati yang namanya aslinya Taman Setra yang ditemukan di Talang Tuwo ini bersifat ekosentrik yakni alam sebagai dasarnya.

"Isinya tidak mengecam tapi memberi, bukan pula semata-mata menagih orang lain seperti ada kata mudahan-mudahan. Ada suatu tindakan proaktif untuk mengajak masyarakat mencapai kesadaran penuh, bertanggung jawab secara pribadi," kata dia.

Menurutnya, momen terbaik penetapan hari bumi ini sebenarnya pada 2014 dan 2015 karena terjadi gerhana bulan dan matahari secara serentak pada tanggal itu.

Tapi, jika pencerahan itu baru didapatkan pada tahun ini, maka tidak menjadi persoalan karena pada dasarnya bertujuan jangka panjang yakni untuk menggelorakan semangat pelestarian lingkungan dan pembenahan tantanan di masyarakat.

"Saya yakin prasasti ini dibuat di tempat yang indah, demikian pula dengan masa dan waktunya. Pemilihan tanggal 21 Maret, bisa juga 22 Maret tentunya tidak sembarang karena pada saat itu bintang, matahari dan bulan berada dalam satu garis," kata dia.

Prasasti Talang Tuwo ditemukan Louis Constant Westenenk (Residen Palembang) pada 17 November 1920 di kaki Bukit Siguntang, yakni salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya.

Keadaan fisiknya masih baik dengan bidang datar yang ditulisi berukuran 50 cm � 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam Aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuna, dan terdiri dari 14 baris.

Menurut, Taufik, penemuan prasasti ini di Palembang sebagai bukti bahwa kota ini menjadi kawah candradimuka para pemikir hebat di masa itu.

"Tentunya sulit jika memaksakan harus menemukan sebuah kerajaan di Palembang untuk membuktikan kerajaan Sriwijaya di sini, karena tempat ini sejatinya adalah tempat persinggahan para pemikir, kalangan biksu atau pendidik pada masa itu," kata dia.