Menyoal gugatan LSM ke OJK

id ojk, perbankan

Menyoal gugatan LSM ke OJK

ilustrasi- Pegawai bekerja di ruang Pusat Pelayanan Konsumen Keuangan Terintegrasi OJK. (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus)

...Munculnya gugatan dari LSM mulai tren sejak setahun terakhir ini seiring dengan makin meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai OJK yang juga mengurus bidang perlidungan konsumen...
Palembang (ANTARA Sumsel) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengatur, pengawas industri keuangan (bank dan nonbank), dan pelindung konsumen sejak 1 Januari 2014, kini dihadapkan pada belasan gugatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Kepala OJK Sumatera Selatan Patahuddin di Palembang, Rabu, mengatakan, LSM tersebut menjadikan OJK sebagai pihak turut tergugat, sementara tergugat pertama adalah perusahaan jasa keuangan untuk berbagai persoalan berkaitan dengan produk jasa keuangan.

"Munculnya gugatan dari LSM mulai tren sejak setahun terakhir ini seiring dengan makin meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai OJK yang juga mengurus bidang perlidungan konsumen," kata Patahuddin.

Khusus di Provinsi Sumatera Selatan, kata dia, OJK pada tahun ini menjadi turut tergugat untuk 12 kasus yang dilaporkan salah satu LSM asal Kalimantan, yakni YLPK Kalimantan yang memiliki kantor cabang di Palembang.

Dari 12 kasus tersebut, beberapa di antaranya telah divonis hakim dengan memenangkan industri keuangan.

"Salah satu yang menjadi sorotan hakim dan dinilai salah, yakni penggugat (LSM) yang mengatasnamakan perorangan. Ini tidak boleh karena LSM seharusnya mengatasnamakan masyarakat," kata dia.

Terkait dengan materi yang digugat, menurut Patahuddin, sebagian besar mengenai persoalan pembayaran kredit di perbankan dan perusahaan pembiayaan.

"Ada yang mau direstrukturisasi kreditnya, tetapi lambat diproses bank, kemudian menggugat. Ada pula yang berkeberatan setelah kendaraannya diambil 'leasing' karena telat membayar. Rata-rata persoalan mengenai pembayaran kredit," ujar dia.

Persoalan sengketa antara konsumen dan perusahaan jasa keuangan ini, menurut Patahuddin, tidak perlu terjadi jika kedua belah pihak mematuhi perjanjian yang dituangkan dalam kontrak kerja sama.

"Gugat menggugat ini berawal dari ketidakpatuhan pada perjanjian kontrak. Akan tetapi, yang cukup merepotkan jika bermuara ke pengadilan karena OJK jadi turut terbawa," kata dia.

Meski tidak dapat mengelak karena berkaitan dengan tugas, Patahuddin tidak membantah bahwa gugatan LSM itu cukup merepotkan OJK.

"Pegawai OJK terpaksa mengikuti jadwal sidang dalam sepekan dua hingga tiga kali untuk tiap kasus. Hal ini cukup merepotkan. Belum lagi, prosesnya yang bisa berbulan-bulan karena kasus perdata umumnya selama enam bulan," kata dia.

        
                                                                       Tren Meningkat
Tren gugatan LSM ke lembaga jasa keuangan ini juga dibenarkan Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Wilayah Sumatera Selatan dan Bangka Belitung Iwan.

Menurut dia, munculnya gugatan ini karena OJK dinilai masyarakat lebih fokus melindungi pada konsumen jika dibandingkan dengan lembaga sebelumnya, yakni Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

Otoritas Jasa Keuangan yang mengurus lembaga keuangan bank dan nonbank sekaligus dinilai mampu bersinergi ketika terjadi persoalan antara perusahaan pembiayaan dan nasabah karena sudah berada dalam satu atap.

"Inilah fenomena baru yang muncul setelah adanya lembaga yang mengawasi lembaga keuangan bank dan nonbank sekaligus. Sebelumnya, tidak ada. Jika pun ada, hanya satu hingga dua kasus saja setiap tahun yang bermuara ke pengadilan perdata," kata Iwan.

Pada tahun 2014, tercatat 8--10 kasus gugatan nasabah ke perusahaan pembiayaan yang berujung di pengadilan perdata.

Namun, dari kasus yang sampai ke pengadilan itu, mayoritas dimenangkan oleh perusahaan pembiayaan karena majelis hakim memahami bahwa usaha pengaduan ini hanya untuk memperlambatkan proses (penyitaan aset, red.) atau agar konsumen dibebaskan dari kewajiban pembayaran.

Setelah berjalan hingga satu tahun lebih, poin yang menjadi perhatian perusahaan pembiayaan, yakni bukan pada kemenangan di pengadilan itu, melainkan pada energi yang harus dikeluarkan untuk penyelesaian perkara perdata tersebut.

"Untuk satu kasus, misalnya, bisa memakan waktu hingga enam bulan. Jelas ini sangat menguras tenaga. Apalagi, ada satu perusahaan yang mendapatkan lebih dari satu perkara di pengadilan. Perusahaan pada akhirnya sibuk mengurus kasus hukum, bukan sibuk mengurus bagaimana bisa mengembangkan usaha," ujar dia.

Untuk itu, ia mengharapkan OJK menemukan solusi atas permasalahan tersebut karena terkait dengan keluhan nasabah yang terkadang tidak sepenuhnya kesalahan dari perusahaan pembiayaan.

"Peraturan OJK sudah jelas bahwa jika tidak membayar cicilan hingga tiga kali, bisa disita. Akan tetapi, ini kerap dipermasalahkan LSM, artinya OJK harus lebih gencar dalam mengedukasi masyarakat," kata dia.      
   
Ia menekankan bahwa OJK harus memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa bagi nasabah yang tidak mampu membayar cicilan sebaiknya berkonsultasi ke lembaga pembiayaan karena ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, seperti penjadwalan jatuh tempo hingga perpanjangan masa kredit.

"Jadi, masyarakat diharapkan tidak serta-merta mengadu ke LSM. Sebaiknya, berkomunikasi terlebih dahulu dengan lembaga pembiayaan," kata dia.

    
                                               Lembaga Penyelesaian Sengketa
Kerepotan OJK dalam melandeni gugatan LSM dan laporan masyarakat dalam konteks sebagai pelindung konsumen ini sudah diprediksi oleh peneliti asal Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rofikoh Rokhim, Ph.D.

Meski sudah diperkirakan bakal terjadi sejak awal pendirian OJK, menurut Rofikoh, fakta ini tidak bisa dipadang sepele karena bisa jadi menggerus performa sebagai pengelola industri jasa keuangan.

"Otoritas Jasa Keuangan dikhawatirkan sibuk untuk urusan perlindungan konsumen. Mereka jadi lupa bahwa ada peran lain yang lebih penting, yakni mengatur dan mengawasi lembaga bank dan nonbank serta meningkatkan kemampuan industri ini. Fakta ini jangan disepelekan karena menjadi salah satu alasan pembubaran OJK di beberapa negara," kata dia.

Namun, pernyataan Rofikoh ini ternyata telah diantisipasi oleh OJK dengan mulai menggiring pendirian Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) untuk masing-masing sektor jasa keuangan.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK Agus Sugiarto mengatakan bahwa kehadiran LAPS ini dipadang sebagai salah satu solusi agar setiap pengaduan tidak mesti harus bermuara ke pengadilan.

Sebanyak tujuh lembaga alternatif penyelesaian sengketa (LAPS) resmi berdiri dan akan mulai beroperasional pada awal 2016 guna memfasilitasi penyelesaian sengketa antara konsumen dan lembaga jasa keuangan.

Ke depan, tujuh LAPS akan didorong menjadi satu lembaga penyelesaian sengketa yang besar yang tetap memiliki kekhususan untuk penyelesaian sengketa pada masing-masing sektor.

Tujuh LAPS yang akan digunakan itu, yakni Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSI), Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI), Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP), Badan Arbitrasi Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI), Badan Arbitrasi dan Media Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BAMPPI), dan Badan Arbitrase Ventura Indonesia (BAVI).

"Hingga sekarang, baru dua sektor, yaitu perbankan dan asuransi yang sudah memiliki LAPS, sementara sektor lain, yakni pembiayaan, pengadaian, dana pensiun, dan pasar modal akan menyusul," kata dia.

Ia menerangkan bahwa OJK yang sejak berdiri menerima ribuan pengaduan dari berbagai sektor industri mengharapkan kehadiran LAPS ini dapat mempertajam peran sebagai pelindung konsumen.

"Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa ini didirikan oleh industri masing-masing dan dikelola secara swadaya. Otoritas Jasa Keuangan sendiri hanya berperan dalam membuat aturan. Mengenai bagaimana LAPS dilaksanakan, diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing industri jasa keuangan karena dinilai lebih paham," kata dia.

Selain LAPS, pemerintah juga akan mengoptimalkan keberadaan lembaga serupa untuk penyelesaian sengketa perdata, yakni Pengadilan Niaga dan Badan Abritase Nasional Indonesia (BANI).

Mengenai hal itu, Agus menegaskan tidak akan terjadi tumpang-tindih karena ketiga lembaga tersebut memiliki karakteristik sendiri.

"Semua bergantung pada masyarakat, bisa ke LAPS, ke pengadilan niaga, atau ke BANI. Ini cara untuk mediasi yang diberikan negara, dengan harapan tidak mesti masuk ke ranah pengadilan perdata yang memakan waktu hingga berbulan-bulan," katanya.

Namun, dia mengamati terdapat keunggulan LAPS jika dibandingkan dengan lembaga serupa karena sengketa dapat diselesaikan dengan cepat dan murah.

"Ke pengadilan niaga dan BANI membutuhkan biaya seperti untuk sewa pengacara dan lainnya. Akan tetapi, jika ke LAPS, tidak mesti begitu karena yang menangani adalah mereka yang benar-benar paham dan independen," kata dia.

Sementara itu, Panitera Pengadilan Negeri Palembang Junaedi mengatakan dari sekitar 15 gugatan sejak awal tahun yang ditujukan ke perusahaan pembiayaan dan menjadikan OJK sebagai turut tergugat diketahui bahwa semuanya digugarkan majelis hakim.

"Biasanya sudah melalui jalur mediasi, kemudian gagal, lalu dilanjutkan ke pengadilan. Setelah digelar beberapa kali persidangan dan masing-masing pihak mengajukan bukti, biasanya yang menang adalah perusahaan. Mengapa perusahaan ?. Contohnya begini, pengugat menyatakan bahwa dirinya tidak membaca kontrak terlebih dahulu, dan hal ini jelas tidak bisa diterima oleh hakim," kata Junaedi.

Kehadiran OJK memberikan angin segar bagi masyarakat karena bukan hanya mengatur dan mengawasi industri jasa keuangan tapi juga berperan sebagai pelindung konsumen. 

Namun, dalam perjalanannya, terkadang muncul gugatan yang tak selayaknya masuk ke ranah pengadilan sehingga diperlukan aturan lebih tegas terkait penyelesaian kasus sengketa industri jasa keuangan sehingga energi tidak terbuang percuma begitu saja.