Menanti bangkitnya tinju profesional Indonesia

id tinju, tinju profesional, tinju indonesia, tinju profesional indonesia, chris john

Menanti bangkitnya tinju profesional Indonesia

Petinju Indonesia Daud Yordan (kiri) bertarung melawan Petinju Afrika Selatan Simphiwe Vetyeka (kanan) pada perebutan gelar Juara Dunia Kelas Bulu Versi IBO, Jakarta. (ANTARA/Yudhi Mahatma)

....Tinju profesional bisa dibilang sedang tertidur, jika terus dibiarkan maka bisa jadi menjadi tidur nyenyak....
Palembang, (ANTARA Sumsel) - Pertandingan tinju profesional antara Manny Pacquaio melawan Floyd Mayweather yang dijadwalkan pada 3 Mei 2015, --disebut-sebut terakbar pada abad ini-- bakal menjadi sajian yang ditunggu-tunggu pencinta olahraga adu jotos di dunia.

Tak terhitung berapa keuntungan yang bakal diraup dari pertandingan yang akan digelar di MGM Grand, Las Vegas, Amerika Serikat itu, karena informasi terakhir tiket penonton hingga kamar hotel di LA sudah ludes terjual.

Namun, di tengah gegap gempita jelang pertandingan tersebut, kondisi sebaliknya justru terjadi di Indonesia.

Mantan petinju Chris Jhon mengatakan tinju profesional Indonesia sedang mati suri lantaran tidak ada promotor yang berminat mengemas atlet Tanah Air menjadi seorang bintang di atas ring.

"Tinju profesional Indonesia saat ini bisa dikatakan mati segan, hidup pun tak mau. Mengapa saya sebut demikian, karena saat ini sudah tidak ada lagi pertandingan walaupun ada atlet profesionalnya," kata Chris yang dihubungi dari Palembang, Kamis.

Ia mengatakan, kondisi ini cukup menyedihkan karena bidang tinju profesional sebenarnya sangat menjanjikan jika berkaca pada kesuksesan di beberapa negara seperti yang saat ini sedang terjadi di Amerika Serikat.

"Indonesia kini hanya menyisakan Daud Yordan setelah saya memutuskan pensiun tahun 2013. Daud pun saat ini sulit bertanding, belakangan karena tidak mendapatkan lawan tanding atau lebih tepatnya belum ada yang mau untuk mempromosikannya," kata Chris.

Sebelumnya, petinju kebanggaan Indonesia Daud Yordan batal bertanding di Palembang, bertepatan dengan gelaran Piala Presiden, untuk perebutan juara dunia World Boxing Organization (WBO) atau Organisasi Tinju Dunia kelas ringan (61,2 kilogram) karena tidak mendapatkan lawan tanding.

Ia tidak menampik, kunci berkembangnya tinju profesional itu terletak pada promotor, sementara di satu sisi, profesi ini belum begitu populer di Indonesia.

Meski sempat ramai pada era 80-an hingga 90-an namun seiring dengan waktu, profesi promotor ini kemudian tergerus karena kurang padunya permintaan dan penawaran di dalam negeri, terkait dengan tayangan televisi, penjualan tiket, dan lainnya.

"Ketika menggeluti profesional hingga 15 tahun, saya dibantu oleh promotor dari Australia. Jadi dialah yang mengatur semuanya, dan saya tinggal fokus berlatih dan bertanding saja. Tapi, kondisi saat ini, justru atlet profesionalnya yang binggung karena sudah latihan keras tapi tidak ada kesempatan untuk bertanding," kata juara dunia kelas bulu ini.

Menyikapi keadaan ini, Chris Jhon mengajak berbagai pihak terkait yang memiliki kepedulian terhadap olahraga tinju untuk memajukan tinju profesional.

"Saya pun ingin menjadi promotor jika melihat kondisi saat ini," kata dia.



Perhatian Organisasi

Sementara, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Persatuan Tinju Amatir Indonesia Martinez Dos Santos mengatakan tinju profesional Tanah Air saat ini mengalami masa kevakuman seiring dengan semakin berkurangnya minat pelaku olahraga untuk menjadi promotor.

"Tinju profesional bisa dibilang sedang tertidur, jika terus dibiarkan maka bisa jadi menjadi tidur nyenyak. Penyebab utamanya karena tidak ada promotor," kata Martinez yang diwawancarai di sela-sela perhelatan Piala Presiden di Palembang.

Ia mengatakan, peran promotor demikian vital dalam olahraga tinju profesional karena dia bertugas mengemas dan mengorbitkan petinju sehingga layak "dijual" sebagai seorang bintang.

Petinju profesional membutuhkan promotor untuk menyambungkan kemampuannya sebagai olahragawan dengan sektor bisnis yang mendatangkan uang.

"Bisa dikatakan, seorang atlet profesional mau latihan sekeras apapun akan percuma saja jika tidak ada promotornya," kata dia.

Menurutnya, sejak 10 tahun terakhir jumlah promotor di Indonesia terus berkurang dan belakangan, hanya satu orang yang tersisa yakni promotor acara tinju di stasiun televisi nasional TVRI.

"Informasi yang saya dengar, malahan acaranya juga disetop lantaran keterbatasan anggaran. Padahal, konsepnya sudah bagus sekali dengan menyandingkan dua laga petinju amatir dan dua laga petinju profesional," kata Martinez.

Ia menambahkan, keterpurukan sektor profesional ini patut menjadi perhatian berbagai pihak, terutama organisasi tinju di Indonesia karena tinju profesional sejatinya muara terbaik bagi petinju setelah berkecimpung lama di amatir.

"Untuk apa banyak organisasi tinju jika tidak bisa menciptakan tinju profesional, artinya harus ada keinginan kuat dari organisasi bagaimana menarik minat kalangan dunia usia untuk mau menjadi promotor. Ini memang tidak mudah karena berkaitan dengan hukum ekonomi," ujar dia.

Meski tidak mudah, menurutnya, tinju profesional Indonesia sebenarnya sangat berpotensi jika digarap dengan serius mengingat olahraga ini cukup populer di masyarakat.

"Indonesia punya Daud Yordan yang saat ini sudah masuk profesional dan cukup baik karirnya. Kemudian, Chris Jhon yang sukses dengan promotor asal Australia. Dari rekam jejak ini, seharusnya tinju profesional Indonesia cukup menjanjikan peluang bisnis, tapi butuh keseriusan untuk menggarapnya," kata dia.

Pascapensiunnya Chris Jhon, Indonesia hanya memiliki Daud Yordan yang mejajal profesional. Saat ini, Daud Yordan menyandang sabuk juara interim (sementara) Asia-Pasifik WBO.



Serabut Asa

Namun di tengah pacekliknya tinju profesional, sektor amatir justru mengalami masa kebangkitan karena berdasarkan data Pertina tercatat terdapat 4.000 hingga 5.000 atlet.

Ketua PP Pertina Reza Ali mengatakan kemeriahan tinju amatir ini tak lain berkat dukungan pemerintah kabupaten/kota dalam pembinaan atlet usia muda.

"Ketika saya masuk menjadi pengurus Pertina di era tahun 80-an hanya ada sekitar 80 atlet yang benar-benar berlatih sebagai petinju amatir. Namun, data terakhir sungguh mengejutkan karena sudah berubah menjadi 4.000 orang," kata Reza yang diwawancarai di sela-sela perhelatan Piala Presiden di Palembang, 20-25 Mei 2015.

Menurutnya, wujud nyata dari peran pengurus tingkat provinsi hingga kabupaten/kota ini dapat terlihat dari hasil Piala Presiden belum lama ini yang menempatkan Indonesia pada urutan kedua dari 24 negara.

Tim Indonesia yang diperkuat oleh tiga tim yakni Tim Indonesia A (atlet Pelatnas SEA Games Singapura), Tim Indonesia B (atlet non-pelatnas, juara kejurnas, dan juara Sarung Tinju Emas), dan Tim Indonesia C (petinju muda non-pelatnas) mampu meraih dua medali emas, satu perak, dan satu perunggu pada kejuaraan internasional tinju amatir Piala Presiden XXII yang diikuti 182 atlet itu.

Hingga penutupan, Sabtu, dua medali emas itu disumbangkan atlet non-pelatnas Mario Kali (49 kg putra) yang mengalahkan petinju Malaysia Muhammad Fuad Rizwan, dan atlet pelatnas Julia Bria (52 kg putra) yang menaklukkan Bui Trong Tai asal Vietnam.

Sementara medali perak diraih atlet pelatnas Vinky Montolalu (64 kg putra) setelah dikalahkan petinju Mongolia, Chin Zorig dengan skor 3-0, dan satu perunggu atas nama atlet pelatnas Farand Papendang (60 kg putra) yang mengalahkan rekan senegaranya Gresty Alfons.

"Setelah 20 tahun paceklik medali emas pada Piala Presiden yang dimulai tahun 1976, akhirnya Indonesia dalam penyelenggaraan ke-20 mampu meraih emas, dua emas pula," kata Riza.

Menurutnya, keberhasilan Piala Presiden ini dapat dijadikan indikator perkembangan tinju di Indonesia, baik amatir hingga profesional.

"Jika pada masa mendatang banyak petinju Indonesia yang menjadi juara pada pertandingan internasional, maka bukan tidak mungkin akan banyak promotor asing yang datang ke negeri ini. Tapi, prediksi saya, hasil yang diraih pada Piala Presiden akan dirasakan buahnya dalam tinju profesional antara 10 hingga 15 tahun mendatang," kata dia.