"Filosofi Kopi": Berdamai dari sisi pahit kehidupan

id film filosofi kopi

"Filosofi Kopi": Berdamai dari sisi pahit kehidupan

Film Filosofi Kopi (kiri-kanan) Aktor terbaik Piala Citra FFI 2014 Chicco Jerikho, Rio Dewanto, Julie Estelle, Produser Anggia Kharisma dan musisi Glenn Fredly menghadiri konferensi pers dan syukuran film Filosofi Kopi di Jakarta. (ANTARA FOTO/Teresi

....Meski tidak bisa memuaskan selera semua orang, "Filosofi Kopi" setidaknya memberi ruang berpendapat bagi penggemar buku untuk ikut berkolaborasi....
Kopi terenak di duniapun tetap menyimpan rasa pahit, begitu pula dengan hidup. Namun, pahit itu sebenarnya bisa dinikmati tergantung bagaimana kita menyikapinya, demikian pesan moral "Filosofi Kopi", film nasional terbaru.

Jody (Rio Dewanto) pusing tujuh keliling memikirkan cara membebaskan diri dari lilitan utang yang membayangi bisnis kedai Filosofi Kopi yang dirintis bersama sahabatnya sejak kecil, Ben (Chicco Jerikho). Keduanya ingin mengembangkan Filosofi Kopi agar lebih laris, namun kepribadian yang bertolak belakang membuat mereka sulit mencari titik temu.

Ben, peracik kopi yang menjadi tulang punggung dari semua menu di Filosofi Kopi, memiliki jiwa bebas. Dia ingin membuat kopi terenak dari biji-biji terbaik meski harganya selangit. Impian yang sulit terwujud karena Filosofi Kopi tidak memiliki cukup uang.

Saat Jody mengusulkan untuk memasang wi-fi dalam kedai demi menarik pengunjung, Ben menolak mentah-mentah. Dia percaya Filosofi Kopi dapat terus bertahan di tengah ramainya  kehadiran kedai lain asalkan menyajikan kopi yang lezat.

"Kopi yang enak akan selalu mempertemukan penikmatnya," kata Ben.

Secercah harapan muncul saat seorang pengusaha yang tertarik dengan artikel mengenai Filosofi Kopi datang ke kedai itu kemudian mengajukan sebuah tawaran menggiurkan.

Dia akan membayar mahal segelas kopi terenak di Jakarta. Jumlah uangnya lebih dari cukup untuk membayarkan semua utang dan mengembangkan kedai mereka.

Ben dan Jody merasa di atas angin ketika berhasil meracik Ben's Perfecto, formula kopi terbaik yang disukai para pelanggan.

Kegembiraan mereka mengempis ketika El (Julie Estelle), pencicip cita rasa kopi tersertifikasi Coffee Quality Institute (Q Grader) mengunjungi kedai Filosofi Kopi. Bagi El, Ben's Perfecto bukanlah kopi terbaik.

Secangkir kopi Tiwus buatan seorang petani kopi di Ijen, Jawa Timur dianggap El jauh lebih enak ketimbang racikan Ben si barista yang menyebut dirinya sebagai pembuat kopi terenak se-Jakarta.

Kepanikan melanda Jody dan Ben. Bagaimana cara memenangkan taruhan bila kopi yang telah mereka banggakan ternyata bukanlah yang terbaik? Mengapa kopi yang diracik sederhana--tanpa eksperimen rumit yang dikerjakan Ben berminggu-minggu--bisa menghasilkan rasa yang lebih menggugah?

Ketiganya pun bertolak ke Ijen untuk bertemu langsung dengan sang peracik kopi Tiwus, Seno beserta istrinya (Slamet Rahardjo dan Jajang J Noer).

Di sana, mereka tidak hanya menemukan jawaban di balik kenikmatan kopi Tiwus, tetapi juga dorongan untuk berdamai dengan serpihan masa lalu yang pahit.

        
Bukan sekadar kopi
"Filosofi Kopi" bisa jadi membuat penonton ingin melepaskan rasa dahaga dengan menyesap berbagai jenis kopi yang ditampilkan dalam film. Namun, film ini lebih dari sekadar kisah tentang kopi.

Sutradara Angga Dwimas Sasongko mengatakan "Filosofi Kopi" bercerita tentang hubungan ayah-anak yang dijembatani lewat kopi.

"Kalau (cerita) aslinya 'kan tentang kesempurnaan hidup, tetapi terlalu abstrak untuk divisualkan. Jadi film ini lebih mengangkat ke hubungan ayah dan anak," kata sutradara peraih Film Terbaik pada Festival Film Indonesia 2014 lewat "Cahaya Dari Timur" itu.

Plot yang diangkat Angga memang tidak persis seperti cerita pendek dalam "Filosofi Kopi" karya Dewi Lestari.

Demi kebutuhan durasi film, perlu ada pengembangan di sana-sini baik dari segi cerita maupun karakter.

Melalui "Filosofi Kopi", Angga mengaku ingin melepaskan label sutradara peraih piala Citra yang melekat padanya dari film "Cahaya Dari Timur: Beta Maluku".

Dia menggarap film yang membutuhkan dana produksi dan promosi sebesar 10 miliar rupiah itu dengan cara yang berbeda 180 derajat ketimbang "Cahaya Dari Timur: Beta Maluku". Dalam "Cahaya Dari Timur: Beta Maluku", dia menyajikan rekonstruksi peristiwa di Maluku seobjektif mungkin dengan pergerakan kamera yang lebih stabil.

Pergerakan kamera di "Filosofi Kopi" terlihat dinamis karena kamera sering bergoyang-goyang. Menurut Angga, pergerakan kamera itu merupakan simbol dari sudut pandangnya yang subjektif.

"Karena saya ingin 'Filosofi Kopi' dilihat dari mata saya yang selalu bergerak," imbuh dia.

Angga mempercayakan pemilihan musisi untuk mengisi lagu dalam film kepada Glenn Fredly yang didapuk sebagai produser musik.  

Karya Maliq & d'Essentials, Gilbert Pohan, Sidepony, Dewi Lestari, SVARNA serta kolaborasi Glenn Fredly, Monita Tahalea dan Is "Payung Teduh" melengkapi film ini.

        
Lintasdimensi
"Filosofi Kopi" disebut sebagai "user generated movie" pertama yang menghimpun konsep dari masyarakat sebagai produser digital melalui aplikasi yang dapat diunduh pengguna Android dan iOs.

Meski tidak bisa memuaskan selera semua orang, "Filosofi Kopi" setidaknya memberi ruang berpendapat bagi penggemar buku untuk ikut berkolaborasi.

Selain itu, kedai Filosofi Kopi di kompleks Blok M Square, Melawai yang menjadi latar belakang utama pengambilan gambarpun tidak hanya bisa dilihat di layar lebar, tetapi dapat benar-benar dikunjungi selama masa promosi.

Tidak hanya itu, para musisi yang mengisi lagu "soundtrack" film juga akan tampil lewat Konser Filosofi Kopi pada 13 April di Rolling Stone Cafe Jakarta.

Para penonton "Filosofi Kopi" dapat masuk ke konser dan mendapat secangkir kopi di kedai secara cuma-cuma asalkan menunjukkan potongan tiket film tersebut di bioskop. Terobosan itu, kata Angga, merupakan upayanya mengapresiasi penonton Tanah Air.