Mungkinkah swasembada beras tercapai lebih cepat?

id beras, swasembada beras

Mungkinkah swasembada beras tercapai lebih cepat?

Swasembada beras (FOTO ANTARA)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Pemerintah  menargetkan swasembada pangan khususnya beras tahun 2017, namun berdasarkan perkembangan di lapangan, ada kemungkinan target itu terwujud lebih cepat.

Informasi mengenai beras dalam beberapa pekan terakhir bertengger di halaman-halaman utama surat kabar. Kalaupun bukan "head line", setidaknya di halaman depan.

Tetapi, semua fokus kepada persoalan harga beras yang melambung. Berita baru soal pencapaian swasembada beras seolah tak dihiraukan karena lebih "menyengat" harganya daripada swasembadanya.

Hal itu disebabkan beberapa kemungkinan. Pertama, janji dan wacana swasembada beras sudah lama disampaikan pemerintah, tetapi tak pernah terealisasi sejak 1984.

Kedua, harga beras lebih riil dirasakan dan masyarakat lebih realistis ketimbang berangan-angan pada isu swasembada. Dalam kaitan ini, swasembada pun masih dikritisi apakah akan berpengaruh kepada harga yang stabil dan terjangkau.

Di sisi lain, mengaitkan swasembada dengan kesejahteraan petani mutlak dilakukan, namun pengalaman menunjukkan swasembada tak banyak pengaruhnya kepada kesejateraan petani. Karena itu, isu swasembada tak terlalu menarik bagi petani.

Untuk membuat swasembada sebagai isu menarik, maka perlu meyakinkan publik bahwa swasembada akan menciptakan harga stabil dan lebih terjangkau. Di samping itu, swasembada akan menyejahterakan petani melalui penetapan harga jual di tingkat petani lebih baik.

Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta membutuhkan stok beras yang sangat banyak. Hal itu mengingat kebiasaan orang Indonesia yang belum merasa kenyang kalau belum makan nasi dari beras.

Kebiasaan itu menempatkan penduduk Indonesia pada urutan pertama di dunia untuk konsumsi beras dengan 130 kilogram perkapita pertahun. Jepang saja hanya sekitar 30 kilogram perkapita pertahun.

Indonesia sebagai negara agraris sebenarnya punya peluang dan kemampuan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Namun, tingkat konsumsi yang tinggi dan pertumbuhan penduduk, menyebabkan stok produksinya tidak terlalu besar sehingga menimbulkan celah untuk impor.

Tahun lalu kebutuhan beras nasional diperkirakan sekitar 35 juta ton. Asumsinya, 247 juta jiwa dengan konsumsi beras 139 kilogram perkapita. Untuk stok aman, harus mampu memproduksi beras mendekati 40 juta ton.

Tahun ini dengan jumlah penduduk mengalami pertumbuhan dan pertambahan, maka konsumsinya diperkirakan naik. Tetapi pemerintah menargetkan produksi beras sebanyak 37 juta ton, cukup untuk konsumsi tetapi stok agak tipis.  

Swasembada?
Perkiraan konsumsi dan target produksi sebesar itu diyakini cukup aman. Karena itu, pakar pertanian Dr Soemitro Arintadisastra memperkirakan, Indonesia akan lebih cepat dalam mencapai swasembada pangan, khususnya beras, bahkan diprediksi terwujud tahun ini atau lebih cepat dibanding target tahun 2017.

"Prediksi saya, pada April, hingga Mei dan Juni produksi beras nasional sudah melebihi kebutuhan dalam negeri," ucap Soemitro kepada pers, saat berkunjung ke kawasan Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Karya Nyata, Desa Kubang Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Selasa (10/3)sore.

Banyak faktor yang pada akhirnya membuat negara ini swasembada beras lebih cepat dibanding target yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo. Salah satunya adalah pola tanam yang telah diubah oleh sebagian besar petani di daerah-daerah penghasil beras.

Menurut dia, selama 50 tahun para petani memiliki pola dan waktu penanaman padi yang kurang tepat. Musim tanam kerap dilakukan sebelum dan ketika memasuki puncak musim hujan, sehingga hasilnya tak terlalu bagus.

Akibatnya tidak sedikit petani yang kerap mengalami kerugian, karena saat musim tanam mengalami kebanjiran dan ketika panen malah masih memasuki musim hujan sehingga padi tidak terjemur dengan maksimal.

Padi yang buruk akan menghasilkan produk beras yang buruk, dengan harga jual yang tentunya rendah, tidak sebanding dengan modal tanam hingga perawatan dan panen.

Untuk tahun ini digagas perubahan pola dan waktu tanam yang tadinya dilakukan pada pertengahan dan akhir tahun, dilakukan pada awal tahun atau setelah puncak musim hujan. Puncak musim hujan adalah musim berbagai kawasan di Tanah Air kerap dilanda banjir. Masa tanam setelah musim ini sangat baik untuk padi.

Ketika panen, cuaca telah cerah dan pengeringan dapat dilakukan maksimal sehingga hasilnya juga baik. "Ketika musim ini, tanaman padi juga maksimal menyerap pupuk sehingga hasil panen bisa jauh lebih memuaskan," tuturnya.  

Potensi yang sangat besar di dalam negeri dalam pemenuhan kebutuhan pangan sendiri tampaknya memacu tekad pemerintah untuk meraih kembali swasembada beras. Pemerintah menyatakan tak akan mengimpor beras hingga akhir tahun ini.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan, stok beras hasil panen petani rendeng dan gadu tahun ini diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Bahkan kebijakan untuk tidak mengimpor beras pun sudah diputuskan secara resmi dalam rapat dengan Presiden Jokowi.

Kebijakan itu didukung pula oleh para gubernur, wali kota dan bupati yang daerahnya selama ini menjadi lumbung padi nasional. Dengan kondisi ini, Amran pun optimistis Indonesia bisa mencapai swasembada pangan.

Untuk mencapai swasembada pangan, sejumlah perubahan regulasi pun telah dilakukan. Di antaranya mempercepat pencairan bantuan yang dibutuhkan petani, seperti traktor.

Dengan regulasi yang baru, telah dikirim 10 ribu traktor ke seluruh Indonesia hanya dalam waktu sepuluh hari. Padahal, jika menggunakan regulasi lama, bantuan traktor itu baru bisa diserahkan kepada petani sekitar Mei dan Juni.

Bila irigasi dapat berjalan dengan baik, maka indeks penanaman naik dan produktivitas menjadi lebih baik.

Swasembada beras merupakan kata yang sangat populer tahun 1984. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan, swasembada artinya usaha mencukupi kebutuhan sendiri.

Swasembada beras waktu itu dicapai Pelita IV dan Kabinet Pembangunan IV (1983-1988). Saat swasembada beras 1984, Indonesia mampu memproduksi beras sebanyak 25,8 juta ton dan memperoleh penghargaan tertinggi dari Badan Pangan Dunia (FAO).

Setelah tahun itu, hanya wacana dan rencana swasembada yang tak pernah terwujud, bahkan tak mampu mempertahankan predikat yang sudah dicapai sekalipun. Kebutuhan beras pun dipenuhi dari impor.

Kini semua instansi pemerintah sedang bekerja keras untuk mengulang kisah sukses swasembada beras. Semua bekerja keras dan fokus mengelola potensi sumber pangan yang ada.

Kerja sama pemerintah daerah dan TNI terus dilakukan. Hasilnya sudah mulai terlihat di beberapa daerah.

Lahan-lahan kosong kini mulai ditanami berbagai komoditas. Bahkan beberapa pemerintah daerah meminta warganya tidak hanya memanfaatkan pekarangan, tetapi juga menggarap lahan tidur.

Yang tidak kalah penting dari uapaya mengulang sukses swasembada beras adalah mempertahankan dan melarang alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan yang sangat marak serta mengancam produksi pertanian dan perkebunan.

Tidak mudah mencetak lahan sawah baru; butuh waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, tidak membiarkan terjadinya alih fungsi lahan sawah untuk alasan apapun dan oleh siapapun tampaknya kebijakan yang perlu ditempuh.