Muhtar divonis 5 tahun terkait kasus Romi Herton

id romi, kasus romi herton

Muhtar divonis 5 tahun terkait kasus Romi Herton

Romi Herton sebagai terdakwa kasus suap pilkada menyaksikan video Muhtar Ependy dan Akil Mochtar yang ditunjukKan Jaksa Penuntut Umum pada persidangan pengadilan tipikor beberapa waktu lalu. (ANTARA FOTO)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Muhtar Ependy, teman dekat  Akil Mochtar, divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider kurungan selama 3 bulan karena dinyatakan terbukti bersalah mempengaruhi saksi dan memberikan keterangan tidak benar dalam penyidikan kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi termasuk Wali Kota Palembang nonaktif Romi Herton.

"Menyatakan terdakwa Muhtar Ependy terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu dan dakwaan kedua. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan  5 tahun penjara dan denda Rp200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 3 bulan," kata ketua majelis hakim Supriyono dalam sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Vonis yang diputuskan oleh majelis hakim yang terdiri atas Supriyono, M Mukhlis, Saiful Arif, Sofialdi dan Alexader Marwata itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi yang menuntut  7 tahun penjaea dan dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsidair 5 bulan kurungan ditambah dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu berupa pencabutan hak remisi dan pelepasan bersyarat.

"Hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah untuk melakukan pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme, perbuatan terdakwa tidak menghormati lembaga peradilan yang mengedepankan nilai kejujuran, kooperatif dan keterbukaan, terdakwa tidak menyesali dan mengakui perbuatan.

Sedangkan hal yang meringankan adalah terdakwa bersikap sopan, belum pernah dihukum dan mempunyai tanggungan keluarga," tambah Supriyono.

Vonis tersebut berdasarkan dakwaan pertama dari pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan dakwaan kedua dari Pasal 22 jo Pasal 35 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam dakwaan pertama, Muhtar dinilai terbukti mempengaruhi Romi Herton (Wali kota Palembang nonaktif), Masyito (istri Romi), Srino (supir Muhtar Ependy), Iwan Sutaryadi (Wakil Kepala BPD Kalimantan Barat cabang Jakarta), dan Rika Fatmawati dan Risna Hasrlianti yaitu karyawati BPD Kalbar cabang Jakarta dengan tujuan untuk merintangi proses penyidikan,  pemeriksaan dan penuntutan di sidang pengadilan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang atas nama Akil Mochtar.

 Muhtar menjadi penghubung dalam pengurusan dalam sengketa pilkada kabupaten Empat Lawang dimana Akil mendapat Rp15,5 miliar melalui Muhtar Ependy dari bupati petahana Budi Antoni Aljufri. Muhtar juga menjadi perantara dalam pengurusan sengketa pilkada kota Palembang dengan Akil dinilai menerima uang sebesar Rp19,87 melalui Muhtar Ependy yang diberikan calon walikota Palembang Romi Herton melalui rekening CV Ratu Samagat.

"Terdakwa bermaksud merintangi atau menghalangi secara langsung dan tidak langsung pemeriksaan, penyidikan dan penuntutan karena terdakwa punya tujuan agar penyidik, penuntut dan hakim tidak berhasil menemukan keterkaitan antara terdakwa dengan Masyito, Romi Herton, Srino, Iwan Sutaryadi, Rika Fatmawati dan Risna Hasrlianti agar perbuatan memberikan uang untuk mengurus sengketa pilkada Empat Lawan dan Palembang sulit dibuktikan," kata hakim Supriyono.

Hakim menilai bahwa Muhtar punya kepentingan untuk mengamankan kepentingannya dalam memberikan uang untuk pengurusan sengketa pilkada Empat Lawang dan Palembang tidak dapat dibuktikan atau sulit dibuktikan sehingga Muhtar mempengaruhi saksi-saksi yang mengalami atau terlibat langsung dalam pemberian uang dari Masyito atau penerimaan uang untuk Akil Mochtar untuk memberikan keterangan yang tidak benar.

"Dengan terbuktinya penerimaan  uang dari Masyito atau pemberian uang kepada Akil Mochtar maka meski dalam putusan Akil Mochtar dinyatakan tidak ada pemberian uang Muhtar ke Akil maka tidak menghalangi pembuktian adanya proses penghalangan pemeriksaan, penyidikan, penuntutan tersebut terpenuhi dan ada dalam perbuatan terdakwa," tegas hakim Supriyono.

Hal tersebut dipertimbangkan karena dalam vonis Akil disebutkan bahwa terkait sengketa pilkada di kabupaten Empat Lawang dan Palembang (Sumatera Selatan), majelis hakim tidak menemukan adanya hubungan kasualitas antara harta kekayaan yang dikelola Muhtar Ependy dengan terdakwa selain Muhtar Ependy mentransfer Rp3,86 miliar ke rekening CV Ratu Samagat.

Sedangkan dalam dakwaan kedua, hakim menilai bahwa Muhtar terbukti memberikan sejumlah keterangan palsu dalam persidangan Akil. Misalnya adalah Muhtar dalam persidangan mengaku hanya sekali bertemu dengan Akil.

"Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan bersesuaian degan alat bukti surat berupa foto dan buku tamu yang menunjukkan terdakwa bertemu dengan Akil lebih dari sekali yaitu di kantor sebanyak 2 kali dan di rumah pribadi dan dinas masing-masing sekali sehingga keterangan yang menyatakan hanya bertemu sekali tidak benar," kata anggota majelis hakim Alexander Marwata.

Muhtar di persidangan juga menerangkan tidak pernah kenal dan berkomunikasi dengan Romi Herton dan Masyito.

"Keterangan para saksi dan 'phone book' pernah bertemu dengan Romi dan Masyito antara lain di hotel Grand Melia dan hadir dalam pelantikan Romi Herton sebagai walikota Palembang, terdakwa juga pernah menjalin komunikasi melalui telepon dan SMS dengan Romi dan Masyito sehingga keterangan tidak pernah bertemu dan berkomunikasi tidak benar," ungkap hakim Alexander.

Muhtar dalam sidang juga mengaku menitipkan uang kepada Iwan Sutaryadi di BPD Kalbar cabang Jakarta sebesar Rp15 miliar yang merupakan uang hasil bisnis yang dikumpulkan selama 20 tahun,

"Berdasarkan keterangan saksi terdakwa menerima Rp15 miliar dalam bentuk mata uang rupiah senilai Rp11 miliar dan 316 ribu dolar AS dari Maysito untuk mengurus sengeketa pilkada Palembang agar memenangkan Romi dan selanjutnya dititipkan di Bank BPD Kalbar sehingga dengan mengatakan uang itu adalah hasil bisnis selama 20 tahun di Muara baru adalah tidak benar," ungkap hakim.

Artinya unsur dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar telah terpenuhi dalam perbuatan Muhtar.

Namun hakim tidak setuju dengan pidana tambahan yaitu berupa pencabutan hak-hak tertentu berupa pencabutan hak remisi dan pelepasan bersyarat yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

"Majelis hakim tidak sependapat dengan penuntut umum untuk pidana tambahan berupa pencabutan hak remisi karena menurut majelis hakim hak itu melekat di UU dan merupakan kewenangan pemerintah untuk memberikan hak pemberian remisi lagi pul hukuman bukanlah bentuk balas dendam tapi upaya agar terdakwa tidak
mengulangi kejahatannya lagi," kata hakim Supriyono.

Namun hakim anggota tiga yaitu Sofialdi menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion dan menyatakan Muhtar tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan pertama.

Sofialdi menilai bahwa Muhtar tidak terbukti melakukan perbuatan menghalangi
proses penyidikan dan pemeriksaan karena saksi kunci yaitu Srino tidak pernah dihadirkan penuntut umum di persidangan Akil Mochtar.

"Srino adalah saksi kunci tapi pada persidangan Akil Mochtar Srino tidak pernah dihadirkan sebagai saksi. Masyito dan Romi Herton juga konsisten terhadap BAP dengan menerangkan tidak mengenal dan berkomunikasi dengan terdakwa saat menjadi saksi di persidangan sehingga perbuatan terdakwa Muhtar Ependy bukan merintangi sidang Akil kecuali bila dipanggil penuntut umum tapi tidak menghadiri persidangan dan ketidakhadirian itu berdasarkan tekanan atau disembunyikan oleh terdakwa sehingga berakibat Romi Herton dan Masyito tidak dapat hadir di persidangan. Faktanya saksi hadir dan memerikan kesaksian di sidang Akil Mochtar di bawah sumpah," kata hakim Sofialdi.

Sofialdi juga beralasan penyidikan dan penuntutan perkara atas Akil Mochtar berjalan lancar dan sesuai dengan tenggat waktu penahanan baik dalam penyidikan, penuntutan maupun persidangan sehingga Akil Mochtar tidak keluar dari tahanan demi hukum.

"Persidangan Akil juga sudah berjalan lancar dan dalam pemeriksaan saksi dan putusan dinyatakan terbukti bersalah dan meyakinkan dengan hukuman maksimal penjara seumur hidup, maka unsur kesengajaan yang diarahkan dalam penyidikan, penuntutan dan persidangan Akil Mochtar tidak terpenuhi," ungkap Sofialdi.

Atas vonis tersebut, Muhtar menyatakan akan pikir-pikir.

"Terima kasih yang mulia. Berdasarkan konsultasi dengan penasihat hukum kami menyatakan pikir-pikir. Insya Allah kami akan mencari jalan terbaik.

Sedangkan jaksa KPK juga menyatakan pikir-pikir