Ketika harga karet menohok dada

id karet, karet petani

Ketika harga karet menohok dada

Petani karet membawa kaleng berisi getah yang siap dijual ke pengumpul. (FOTO ANTARA)

...Bisa dikatakan saat ini petani karet menjerit karena hasil menyadap satu bulan hanya menghasilkan uang sekitar Rp200 ribu...
Palembang (ANTARA Sumsel) - Sebagian besar petani Sumatera Selatan menggantungkan hidup pada sektor perkebunan karet dan kelapa sawit.

Di bidang perkebunan karet, data Dinas Perkebunan Sumsel pada 2013 mencatat sebanyak 648.457 petani menggantungkan hidup di sektor ini dengan luas lahan mencapai 1.232.038 hektare.

Jumlah tenaga kerja ini menjadi yang terbesar disusul kelapa sawit dengan 205.750 petani.

Lantas apa jadinya, jika harga karet anjlok di pasaran dunia mengingat 90 persen hasil perkebunan karet Sumsel diekspor dengan tujuan Tiongkok, India, dan sebagian Eropa.

Jawabannya, pasti sangat mempengaruhi hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat Sumsel, tak hanya yang di perdesaan, yang di perkotaan pun terkena imbasnya.

Anwar, petani karet di Kecamatan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, mengatakan pada pekan ini harga getah karet belum juga membaik sejak berada di titik terendah pada pertengahan 2013.

Ia yang diwawancarai pada Rabu (10/2) mengisahkan, harga getah yang diolah untuk periode satu minggu hanya dipatok pengumpul sebesar Rp4.500 per kilogram atau turun dari pekan lalu di kisaran Rp4.800. Harga ini untuk golongan getah yang masih kotor atau masih ada kulit.

Sementara, harga getah olahan untuk periode satu minggu yang sudah bersih (tidak ada kulit) hanya dinilai Rp5.800 per kilogram atau turun dari Rp6.000 dibandingkan pekan lalu. Tak berbeda jauh penurunannya, harga getah untuk periode dua pekan juga masih rendah yakni di kisaran Rp7.500 per kilogram.

"Bisa dikatakan saat ini petani karet menjerit karena hasil menyadap satu bulan hanya menghasilkan uang sekitar Rp200 ribu. Jelas tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup," kata Anwar yang sudah bergelut dengan perkebunan karet sejak 20 tahun lalu.

Untuk menyambung hidup, ia dan rekan-rekan sesama petani terpaksa berkerja sebagai buruh di pabrik pengolahan kelapa sawit PT Sampoerna Agro.

"Biasanya penduduk di Mesuji ini, pagi sampai sore kerja di Sampoerna, nanti sore sampai siang, kemudian sorenya kerja di kebun. Pohon karet tetap disadap meski murah karena tidak ada pilihan lain," ujar dia.

Penurunan perdapatan secara drastis ini telah mempengaruhi kehidupan masyarakat perkebunan di beberapa kabupaten/kota di Sumsel dalam dua tahun terakhir.

Maklum saja, pada masa keemasan yakni periode 2010-2011 ketika pertumbuhan ekonomi di Tiongkok sebesar 9,2 persen, harga getah karet di tingkat petani berada di kisaran Rp20.000 hingga Rp25.000 per kilogram. Keadaan ini membuat kehidupan masyarakat perkebunan Sumsel dalam kondisi makmur dan bergelimang harta ketika itu.

Tak jarang, ketika melintasi kawasan pemukiman penduduk di desa yang memiliki puluhan hektare lahan perkebunan karet terlihat beberapa unit mobil dalam kondisi baru sedang terparkir di garasi.

Namun, seiring dengan pelemahan ekonomi di Eropa yang berimbas ke Tiongkok dan India sebagai negara produsen barang membuat harga karet di pasaran ekspor pun ikut terpuruk. Sumsel yang 90 persen hasil perkebunan karetnya di ekspor harus gigit jari atas keadaan ini.

Kepala Cabang penjualan sepeda motor merek Suzuki Gunawan di Baturaja, Ogan Komering Ulu mengatakan bisnis penjualan kendaraan roda dua telah terpuruk sejak setengah tahun terakhir akibat anjloknya harga karet.

Semula perusahaannya memiliki dua cabang di Baturaja. Lantaran tidak dapat memenuhi target penjualan maka satu cabang terpaksa ditutup.

"Saat harga karet sedang bagus-bagusnya, tidak ada yang beli kredit, semua langsung tunai. Biasanya dalam kondisi stabil setiap cabang bisa menjual sekitar 30 kendaraan roda dua, tapi sejak dua bulan terakhir hanya 16 unit," kata dia.

Ia mengemukakan, penurunan volume penjualan mulai terasa sejak Juli dan mencapai puncaknya sejak November hingga Desember 2014.

Kendati perusahaan telah melancarkan beragam program untuk menggaet pembeli tapi tetap saja tidak mampu mendongkrak penjualan. Salah satu upaya itu, dengan memberikan subsidi pada uang muka kredit.

Industri Hilir

Pada 2013 tercatat produksi karet Sumsel mencapai 1.075.209 ton sementara pada 2014 berkisar 1,1 juta ton (data 2014 belum resmi dirilis Dinas Perkebunan Sumsel). Dari total produksi 2014 yakni 1.075.209 ton, hanya satu persen yang dikomsumsi dalam negeri yakni sekitar 2.000 ton.

Data Badan Pusat Statistik Sumsel mencatat penurunan nilai ekspor cukup signifikan terjadi pada 2014 dengan membukukan hanya 1.613.390.000 dolar AS atau turun drastis dibandingkan 2013 yang mencetak 2.705.493.000 dolar AS.

Pada 2012, produksi karet Sumsel masih tinggi dengan mencatat 2.943.866.000 dolar AS, dan mencapai masa keemasan pada 2011 dengan membukukan 3.868.385.000 dolar AS, sedangkan pada 2010 hanya 1.904.324.306 dolar AS dan 2009 sebesar 1.110.906.904 dolar AS.

Ketidakberdayaan Sumsel menyediakan industri hilirisasi ditenggarai menjadi penyebab utama mengapa sektor perkebunan karet tidak bisa menjamin kesejahteraan petani.

Sumsel yang menjadi salah satu provinsi penghasil getah terbanyak di Indonesia, selain Sumatera Utara, dan Jambi tidak dapat berbuat apa-apa ketika terjadi penurunan permintaan dari luar negeri.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumsel Permana mengatakan pemerintah daerah telah berupaya mengajak investor untuk menanamkan modal dengan membangun industri hilirasasi.

Investor asal Belarus sempat mengunjungi Palembang dengan didampingi Presiden Direktur Bluebird sebagai jaminan bahwa produk ban yang akan dihasilkan akan langsung diserap pasar dalam negeri. Kemudian, investor asal Prancis dan beberapa negara Eropa juga mengutarakan niat yang sama.

Menurut Permana, pada umumnya investor ini mengurungkan niat lantaran Sumsel tidak memiliki pelabuhan untuk pintu perdagangan mengangkut barang ke pasar Eropa mengingat Pelabuhan Tanjung Api Api tak kunjung terealisasi.

"Jika melalui darat semisal melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta maka biaya logistik akan sangat mahal sekali," ujar dia,

Pada keadaan lain, ia menambahkan, perusahaan lokal yang telah berdiri di Sumsel pada era 80-an justru tidak lagi beroperasi lantaran mengalihankan bisnis ke sektor lain atau berpindah tempat produksi ke Jawa.

"Sebelumnya ada Intirub dan PT Krama Yudha Tiga Berlian, tapi kini sudah tidak terdengar lagi di Sumsel," kata dia.

Kondisi ini, ia menambahkan, semakin diperparah iklim persaingan yang sedang berlangsung di pasar internasional. Produk olahan getah Sumsel mulai mendapatkan saingan baru yakni dari Vietnam, Myanmar dan Thailand dengan menawarkan produk berkualitas ekspor lebih baik.

"Saat ini pasar memiliki banyak pilihan karena pemain bukan Indonesia saja. Negara seperti Vietnam, Myanmar, dan Thailand sudah mampu menghasilkan produk yang lebih baik seperti karet berbentuk lembaran, sementara petani karet Sumsel sebatas menjual getah yang hanya dijadikan bongkahan dengan terlebih dahulu dicuci," kata Permana.

Ia menerangkan, lantaran petani sebatas getah berbentuk bongkahan Maka yang melakukan penyempurnaan sebelum diekspor adalah pabrik pengolahan.

"Pabrik pun hanya sebatas membuat Sir 5, Sir 10, dan Sir 20 (berbentuk bongkahan yang sudah dipotong), sementara negara pesaing sudah membuat lembaran. Jelas yang dicari pasar adalah yang lembaran karena lebih mudah untuk mengolahnya jadi barang jadi," kata dia.

Ia mengatakan, keengganan untuk membuat produk turunan yang mendekati keinginan pasar ini juga menjadi pangkal persoalan mengapa harga karet di tingkat petani Sumsel terbilang rendah.

Pemerintah telah menawarkan beragam solusi kepada petani, namun budaya yang berlangsung turun temurun dalam berkebun karet menjadi kendala utama.

Berbagai forum edukasi pengolahan karet yang diperuntukkan kepada petani karet terbilang kurang mendapatkan respon positif.

"Biasa menghasilkan getah, jadi maunya getah terus. Mereka tidak mau memproses karena butuh waktu lama. Beda dengan jual getah bisa langsung dapat uang. Padahal jika tahu, harga jual getah dengan jual lembaran itu bisa berselisih dua kali lipat," ujar dia.

Selain terkendala kebiasaan petani, pemerintah juga mendapati kenyataan berkurangnya peran Koperasi Unit Desa di dalam masyarakat perkebunan.

"Jika saja semua kompak dan percaya KUD, tentunya harga bisa dikendalikan oleh petani. Coba saja, jika pabrik tidak dapat bahan baku tentunya tidak dapat beroperasi," kata dia.

Kini di tengah goncangan ekonomi yang melanda produk ekspor sepatutnya berbagai pihak memaknai keadaan ini sebagai pemicu untuk bangkit dari ketidakmandirian.

Sudah saatnya, petani dan pemerintah saling bersatu padu untuk menaikkan derajat perkebunan karet Sumsel yang selama ini sebatas penyedia barang baku. Petani diharapkan memperbaiki kualitas dengan menghasilkan produk olahan bermutu, sementara pemerintah menyediakan infastruktur pelabunan untuk mendorong munculnya investor agar masyarakat mendapatkan kehidupan lebih baik.