Produk karet Sumsel mulai kalah bersaing

id karet

Produk karet Sumsel mulai kalah bersaing

Petani karet (FOTO ANTARA)

...Pabrik pun hanya sebatas membuat Sir 5, Sir 10, dan Sir 20 (berbentuk bongkahan yang sudah dipotong), sementara negara pesaing sudah membuat lembaran...
Palembang (ANTARA Sumsel) - Produk karet Sumsel mulai kalah bersaing seiring dengan munculnya pesaing baru dari Vietnam, Myanmar dan Thailand yang menawarkan produk berkualitas ekspor lebih baik.
    
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Permana di Palembang, Selasa, keadaan ini membuat industri karet Sumsel semakin sulit untuk bangkit di tengah pelemahan ekonomi global yang berimbas ke seluruh produk ekspor.
    
"Saat ini pasar memiliki banyak pilihan karena pemain bukan Indonesia saja. Negara seperti Vietnam, Myanmar, dan Thailand sudah mampu menghasilkan produk yang lebih baik seperti karet berbentuk lembaran, sementara petani karet Sumsel sebatas menjual getah yang hanya dijadikan bongkahan dengan terlebih dahulu dicuci," kata Permana.
    
Ia menerangkan, lantaran petani sebatas getah berbentuk bongkahan maka yang melakukan penyempurnaan sebelum diekspor adalah pabrik pengolahan.
    
"Pabrik pun hanya sebatas membuat Sir 5, Sir 10, dan Sir 20 (berbentuk bongkahan yang sudah dipotong), sementara negara pesaing sudah membuat lembaran. Jelas yang dicari pasar adalah yang lembaran karena lebih mudah untuk mengolahnya jadi barang jadi," kata dia.
    
Ia mengatakan, keengganan untuk membuat produk turunan yang mendekati keinginan pasar ini menjadi pangkal persoalan mengapa harga karet di tingkat petani Sumsel terbilang rendah.
    
Pemerintah telah menawarkan beragam solusi kepada petani, namun budaya yang berlangsung turun temurun dalam berkebun karet menjadi kendala utama.
    
Berbagai forum edukasi pengolahan karet yang diperuntukkan kepada petani karet terbilang kurang mendapatkan respon positif.
    
"Biasa menghasilkan getah, jadi maunya getah terus. Mereka tidak mau memproses karena butuh waktu lama. Beda dengan jual getah bisa langsung dapat uang. Padahal jika tahu, harga jual getah dengan jual lembaran itu bisa berselisih dua kali lipat," ujar dia.
    
Selain terkendala kebiasaan petani, pemerintah juga mendapati kenyataan berkurangnya peran Koperasi Unit Desa di dalam masyarakat perkebunan.
    
"Jika saja semua kompak dan percaya KUD, tentunya harga bisa dikendalikan oleh petani. Coba saja, jika pabrik tidak dapat bahan baku tentunya tidak dapat beroperasi," kata dia. 
    
Sementara, petani karet di Kecamatan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumsel, Anwar membenarkan bahwa seluruh petani karet di wilayahnya hanya menjual karet dalam bentuk bongkahan karena telah melakukannya sejak awal bergelut di perkebunan.
    
"Dari dulu memang begini. Bisa saja membuat lembaran, tapi yang mau beli siapa. Pabrik hanya mau membeli getah dalam bongkahan," kata Anwar.
    
Menurutnya, petani tidak berkeberatan memproses getah karet asalkan difasilitasi pemerintah terkait pasar dan peralatannya.
    
Hingga kini, Sumsel belum memiliki industri hilirisasi karet sehingga 90 persen hasil perkebunan diekspor ke luar negeri.
    
Produksi karet Sumsel cenderung stabil di kisaran 1 juta ton per tahun. Pada 2013 tercatat 1.075.209 ton, sementara 2014 berkisar 1,1 juta ton (data 2014 belum resmi dirilis Dinas Perkebunan Sumel).
    
Harga karet sempat mengalami massa keemasan pada periode 2010 hingga awal 2012 dengan harga berada di kisaran Rp18.000 per kilogram di tingkat petani, namun seiring dengan pelemahan ekonomi global membuat harga turun di harga terendah berkisar Rp4.500 hingga Rp5.000 per kilogram sejak awal tahun.
    
Data Badan Pusat Statistik Sumsel mencatat penurunan nilai ekspor cukup signifikan terjadi pada 2014 dengan membukukan hanya 1.613.390.000 dolar AS atau turun drastis dibandingkan 2013 yang mencetak 2.705.493.000 dolar AS.