Jurufoto Monas bertahan di tengah gempuran teknologi

id monas, kawasan monas jakarta

Jurufoto Monas bertahan di tengah gempuran teknologi

Taman Monas (FOTO ANTARA)

....Seiring dengan perubahan zaman, kini profesi juru foto di Monas semakin terjepit karena kalah bersaing dengan kemajuan teknologi....
Jakarta,  (ANTARA Sumsel) - Siang itu matahari sudah tepat di atas kepala, tapi Ajib, salah seorang juru foto atau fotografer di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, baru mengantongi uang Rp30.000 dari dua orang pengunjung yang memanfaatkan jasanya.

Meski sudah bersusah payah sejak pagi menawarkan jasa dengan mengitari area sekitar tugu Monas, tetap saja laki-laki paruh baya ini tidak mendapatkan konsumen yang berminat memanfaatkan jasanya.

Suasana Monas yang senantiasa ramai itu pun menjadi hambar bagi ayah tiga anak ini lantaran sedikitnya konsumen.  

Beberapa foto yang merupakan buah karyanya terdahulu ternyata tak mampu menggugah minat para pendatang untuk sekadar melihat meski sudah disusun rapi pada plastik lembar berukuran 50x50 cm.

"Beginilah sejak 'handphone' semakin canggih. Sedikit sekali yang mau pakai jasa tukang foto. Bisa dapat lima saja dalam satu hari, sudah bagus," kata Ajib yang dijumpai sedang melepas lelah di bawah pohon beringin kawasan Monas, bersama beberapa rekan seprofesinya.

Ia menyadari, kemajuan teknologi kamera telah menggerus profesinya. Para pengunjung telah memiliki kamera sendiri bermodel digital, atau memakai vitur kamera di telepon seluler untuk mengabadikan momen berharga di Monas.

Monas yang dikenal sebagai ikon ibu kota yang tak pernah sepi ini, tak lagi memberikan rejeki berlimpah bagi Ajib. Sungguh berbeda dibandingkan ketika masa keemasan datang yakni di bawah tahun 2007.

"Saat sedang ramai-ramainya, semua juru foto pakai kamera digital. Pada masa itu kamera digital masih tergolong mahal, sehingga banyak yang belum punya," kata dia.

Ia menuturkan, pada masa itu bisa mencetak foto hingga 40 buah dalam satu hari dengan harga sekitar Rp10.000 per buah.

Namun, seiring dengan perubahan zaman, kini profesi juru foto di Monas semakin terjepit karena penghasilan per bulan hanya berkisar Rp1,5 juta hingga Rp1,8 juta.

"Saat ini sekadar penyambung hidup saja. Karena sudah jadi profesi sejak 20 tahun lalu, jadi mau bagaimana lagi," kata dia.

Terlalu riskan bagi Ajib untuk mengubah profesi mengingat ketiga anaknya membutuhkan biaya untuk mengenyam pendidikan. Baginya, satu bulan tanpa penghasilan akan membahayakan masa depan keluarga.

"Uang dicukup-cukupi saja, tidak mau anak seperti saya. Pokoknya mereka harus sekolah. Beruntung istri mau mengerti," ujar dia.

Lain pula Teddy, juru foto lainnya. Ia enggan meninggalkan profesi juru foto karena tidak memiliki keahlian lain.

"Sudah jadi profesi sejak 15 tahun lalu, jadi mau bagaimana lagi Jalani saja, rezeki Tuhan yang mengatur," kata Teddy yang dijumpai bersama dua rekannya sedang berteduh di bawah sebuah pot besar di dekat pelataran tangga Monas.

Meski menyadari tidak mudah menjalani profesi ini di tengah kemajuan teknologi, Teddy merasa tetap memiliki peluang untuk mengais rezeki di Monas.

Menurutnya, masa liburan sekolah merupakan masa yang paling dinanti-nantikan karena Monas akan dibanjiri para pengunjung dari luar kota.

"Tidak semua orang memiliki kamera, terkadang masih ada juga orang-orang dari daerah yang ingin fotonya langsung jadi," ujar Teddy.

Menurutnya, para juru foto dituntut lebih kreatif dalam menghadapi kemajuan zaman ini, seperti beralih dari kamera digital ke kamera LSR untuk menarik minat pengunjung.

Selain itu, harus memiliki printer (mesin pencetak) sendiri sehingga pengunjung dapat secara langsung mendapatkan hasilnya.

Untuk itu, Teddy mengeluarkan dana relatif besar yakni untuk printer portable Cannon seharga Rp1,4 juta, dan kamera LSR Canon 1100 seharga Rp4,8 juta, dan membeli tinta sekitar Rp400 ribu per bulan.

"Saat ini semua juru foto di Monas sudah pakai kamera LSR," kata Teddy.

Punya Organisasi
Sementara, untuk menjaga kelangsungan profesi juru foto di Monas, Teddy dan rekan-rekannya sepakat membentuk organisasi Fotografer Monas pada 2007.

Organisasi ini memiliki aturan yang cukup ketat karena membatasi jumlah anggota hanya 33 orang.

Pembatasan jumlah anggota ini untuk menjaga pendapatan harian dari juru foto Monas yang semakin sulit untuk hidup layak.

"Jumlah juru foto tidak boleh ditambah, saat bertugas harus menggunakan rompi juru foto monas, dan harus mematok harga Rp15.000 per foto. Itulah aturan tegasnya," kata Teddy.

Selain itu, komunitas ini juga menjunjung etika dalam menjual jasa, seperti tidak boleh menyerobot "pasien" (pengunjung, red) teman, dan dengan iklas memberikan pasien kepada teman yang belum mendapatkan pemasukan.

"Yang sudah dapat sebaiknya kasih teman yang belum dapat, supaya tetap rukun. Jika tidak begini nanti bisa berkelahi," ujar dia.

Catrin (45), pengunjung asal Wamena, Papua, mengatakan memilih menggunakan jasa juru foto karena ingin mendapatkan hasil fotonya secara langsung.

"Saya ingin langsung dapat fotonya, dari pada foto sendiri repot harus pergi buat cetak. Ini pulang bisa langsung kasih lihat keluarga," kata Catrin.

Pada kesempatan itu, Catrin dan putrinya yang berusia 10 tahun, Stephenie, mengabadikan momen di Monas dengan bergaya layaknya model.

Teddy, si juru foto yang menjadi pengarah gaya mengajarkan Stephenie untuk berpura-pura seolah-olah memegang puncak tugu Monas.

"Fotonya bagus, seperti pegang Monas padahal cuma pura-pura," kata Stephenie setelah melihat hasil fotonya.

    
Tetap dibutuhkan
Kepala Suku Dinas Pariwisata Jakarta Pusat Triyogo Prasetyo mengatakan keberadaan juru foto di Monas tetap dibutuhkan karena bagian dari penunjang bisnis pariwisata ibu kota.

"Suatu area wisata itu pada prinsipnya harus lengkap, dan keberadaan juru foto ini adalah pelengkap, disamping Monas-nya sendiri yang menjadi ikon Kota Jakarta. Ke depan akan dilakukan berbagai penyempurnaan di kawasan Monas, untuk juru fotonya saya kira sudah bagus," kata dia.

Ia menambahkan, Kawasan Monas telah menjadi destinasi wisata di Jakpus bersama tujuh kawasan lainnya yakni kawasan Pasar Baru, Kemayoran, Tanah Abang, Jalan Jaksa, Senen, Lapangan Banteng, Thamrin dan Menteng.

"Pada prinsipnya, area wisata itu harus memberikan kenyamanan dan kesenangan bagi pengunjungnya. Keberadaan juru foto di Monas sendiri pada prinsipnya sangat membantu menjadikan kawasan ini sebagai destinasi wisata," kata dia.