Bank Indonesia siap jika pemerintahan baru naikkan BBM

id bank indonesia, siap jika pemerintahan baru naikkan bbm

Bank Indonesia siap jika pemerintahan baru naikkan BBM

Bank Indonesia (ist) (Foto istimewa)

Bandung (ANTARA Sumsel) - Bank Indonesia (BI) siap mengendalikan inflasi dengan instrumen moneter yang dimilikinya jika pemerintah baru menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk menekan beban subsidi dalam APBN.

"Dampak langsungnya hanya tiga bulan, kalau naik pada Oktober maka Januari dampaknya sudah mereda," kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung di Bandung, Sabtu.

Menurut dia, tantangan yang akan dihadapi oleh pemerintah baru adalah adanya risiko fiskal dimana beban subsidi energi membengkak sehingga defisit APBN juga naik.

"Kalau beban subsidi dalam APBN tidak dikurangi maka defisit APBNP 2014 bisa saja lebih dari 2,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) padahal batas maksimum adalah tiga persen," katanya.

Menurut dia, fungsi pemerintah dalam kebijakan fiskal juga tidak akan maksimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

"APBN yang harusnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi tidak dapat berfungsi maksimal karena adanya pemangkasan belanja," katanya.

Juda menyebutkan berdasarkan perhitungan yang dilakukan, jika misalnya harga BBM naik Rp1.000 per liter maka dampak inflasinya sekitar 1,6 persen. "Jika naik Rp2.000 kalikan dua saja," katanya.

Ia mengakui dengan kenaikan harga BBM maka target inflasi tidak akan tercapai.

"Memang target inflasi tidak akan tercapai tetapi struktur dan fundamental ekonomi akan lebih baik sehingga pertumbuhan ekonomi pun bisa lebih tinggi," katanya.

Juda juga menyatakan akan lebih baik jika pemerintah menerapkan kebijakan subsidi BBM tetap sehingga APBN tidak terlalu berat menanggung beban subsidi.

Menanggapi pernyataan capres yang akan berusaha agar pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas tujuh persen, Juda mengatakan pada 2010-2012, pertumbuhan ekonomi bisa di atas enam persen.

Namun ketika Indonesia menghadapi kondisi defisit neraca perdagangan dan harga komoditas turun maka sulit mencapai pertumbuhan ekonomi di atas enam persen.

"Tanpa reformasi struktural maksimal pertumbuhan ekonomi hanya enam persen, jangan harap tujuh persen. Dengan reformasi struktural pertumbuhan ekonomi bisa 6,5-7,0 persen," kata Juda.