Mewujudkan ketahanan pangan seperti Swiss

id pertanian, mewujdukan ketahanan pangan seperti swiss

Mewujudkan ketahanan pangan seperti Swiss

lahan pertanian (ilustrasi Foto Antara)

....Pemerintah Indonesia perlu belajar mengembangkan sektor pertanian dari Swiss yang telah menempatkan ketahanan pangan sama dengan ketahanan militer....
Jakarta (ANTARA Sumsel) - Pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan industri telah menyebabkan semakin luas lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi permukiman, pabrik dan pertokoan.

Di negeri yang semakin padat penduduknya ini, pertanian adalah masa depan karena menghasilkan bahan pangan untuk masyarakat. Tanpa adanya lahan pertanian yang terjaga dan terjamin perlindungannya, Indonesia akan semakin tergantung kepada kebutuhan pangan dengan cara membeli dari negara lain atau impor.

Berdasarkan Proyeksi Kependudukan Indonesa 2010-2035, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan akan terus tumbuh dari 237,6 juta jiwa sebagaimana dilaporkan Sensus Penduduk 2010 menjadi 271,1 juta jiwa pada 2020 dan 305,6 juta pada 2035. Jumlah orang sebanyak itu membutuhkan makan dan lokasi perumahan. Di sisi lain, industri yang terus berkembang juga membutuhkan lahan.

Di Indonesia, cara yang paling gampang mendapatkan lahan untuk rumah dan pabrik serta pertokoan adalah dengan mengubah sawah. Laporan dari berbagai daerah telah lama menyebutkan bahwa lahan pertanian terus menyusut. Namun tidak ada aksi yang lebih nyata dan tegas terkait perubahan penggunaan lahan.

Data yang disampaikan Kementerian Pertanian tampak sangat mencengangkan. Kini alih fungsi lahan pertanian mencapai 100.000 hektare per tahun, sementara kemampuan pemerintah mencetak sawah baru hanya mencapai 38.000 hektare pertahun. Ini menunjukkan rendahnya pencetakan sawah baru oleh pemerintah.

Tidak mudah mencari lahan di Indonesia untuk diubah menjadi lokasi persawahan. Namun ironisnya, tampak seperti mudah sekali mengubah hutan untuk perkebunan, perindustrian, pertambangan dan lokasi perumahan.

Bahkan lokasi yang dialokasikan untuk lahan pertanian yang dijanjikan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Kehutanan seluas 7,2 juta hektare hanya terealiasi 13.000 hektare. "Kita defisit 60.000 hektare. Katanya, kita punya lahan yang luas tetapi faktanya begitu sulit," kata Menteri Pertanian Suswono.

Karena itu, lahan pertanian masih akan menjadi persoalan yang harus diselesaikan bagi pemerintah baru hasil Pemilu 2014. "Persoalan lahan masih menjadi kendala peningkatan produksi dan produktivitas pangan akibat tingginya alih fungsi atau konversi areal pertanian untuk nonpertanian," katanya dalam diskusi dengan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) di Bogor.

Pertumbuhan penduduk telah menyebabkan kepemilikan lahan areal pertanian di tingkat petani semakin rendah, yakni hanya 0,3 hektare per rumah tangga petani, jauh di bawah petani Thailand yang sudah mencapai 3 hektare per kepala keluarga.

Menurut Mentan, salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah adalah menghentikan sementara (moratorium) alih fungsi lahan pertanian. Hal itu seharusnya diatur langsung oleh pemerintah pusat agar seluruh pemerintah daerah tidak mudah memberikan izin alih fungsi lahan pertanian.

"Artinya harus ada intervensi dari pusat. Saya setuju untuk sementara kondisi memprihatinkan dengan lahan defisit 60.000 per tahun, moratorium adalah salah satu usaha yang bisa diintervensi oleh pusat," katanya.

Belajar
Meski punya lahan pertanian yang demikian luas, namun Indonesia gagal mengelola potensi itu karena kenyataannya semakin banyak produk pertanian yang harus impor. Lihat saja, bukan hanya supermarket dan mal yang dibanjiri buah dan beras serta barang-barang impor, pedagang buah pinggir jalan dan pasar-pasar tradisional pun sudah dipenuhi barang impor.

Kemandirian pangan yang dijanjikan para pejabat tampaknya hanya angin lalu dan janji manis saat menjelang pemilihan. Sampai saat ini belum ada pejabat dan pemimpin yang mampu menunjukkan idealismenya membela pertanian dan ketahanan pangan.

Padahal di banyak negara, ketahanan pangan sama dengan ketahanan di bidang pertahanan militer. Sebut saja Swiss yang menempatkan ketahanan pangan setara dengan ketahanan militer. Mantan Duta Besar Indonesia untuk Swiss Djoko Soesilo menggambarkan betapa suksesnya Swiss sebagai negara dengan kemampuan mengelola sektor pertanian hingga negara itu menjadi terkaya dengan masyarakatnya sejahtera dari hasil pertanian.

Swiss merupakan negara industri tetapi tetap mengutamakan pertanian. Swis sukses mengembangkan lahan untuk ditanami jagung, bunga matahari serta padang gembala untuk sapi

"Di Swiss ada ketentuan, kalau Anda mewariskan tanah pertanian kepada anak, tidak boleh tanah warisan itu dipecah karena tanah pertanian di Swiss sangat dilindungi, tidak boleh dialih fungsi sehingga lahan pertanian setiap tahun bertambah," katanya.

Swiss berpenduduk 7,6 juta, tetapi memiliki populasi ayam potong 9 juta ekor, sapi 1,6 juta ekor, babi sebanyak 1,5 juta ekor dan 1,5 juta ekor biri-biri.

Wisma Indonesia, yang merupakan kediaman resmi duta besar RI untuk Swiss, terletak di Desa (Gemeinde) Gumligen, di pinggiran Kota Bern. Banyak tamu yang datang sering bertanya keheranan, bagaimana di negara maju seperti Swiss, masih ada lahan pertanian dan peternakan yang luas. "Maka, secara guyon saya sering sampaikan kepada teman-teman dari Jakarta bahwa tetangga saya hanya sapi yang jumlahnya puluhan yang dimiliki satu keluarga, Hans Guertsner," kata Djoko.

Lahan pertanian di depan wisma, selain untuk peternakan puluhan sapi, ditujukan untuk berbagai macam tanaman. Ada yang mengkhususkan menanam hortikultura, ada yang menanam jagung, gandum, bunga matahari, dan sebagainya. Yang jelas, mereka tidak akan pernah menanam tanaman yang sama di lahan yang sama secara berturut-turut.

Katakanlah kalau mereka mempunyai tanah dua hektare. Biasanya, lahan itu akan dibagi dalam empat bagian. Satu bagian ditanami gandum, satu bagian jagung, satu bagian hortikultura dan bagian lainnya bunga matahari. Musim tanam berikutnya, mereka menggeser lokasi sehingga satu plot akan kembali ditanami tanaman yang sama setelah empat kali musim tanam. Dengan demikian, tanpa menggunakan obat kimia, petani Swiss sudah menghindari terjadinya serangan hama.

Mungkin banyak yang akan bilang, pantas saja petani Swiss kaya karena lahannya sangat luas. Lahan pertanian di Swiss sangat luas karena memang terdapat kebijaksanaan perlindungan pemerintah terhadap bidang pertanian yang nyata.

Untuk menghindari penyusutan lahan, lahan pertanian juga dilarang dikaveling-kaveling kecil. "Artinya, andaikata saya memiliki lahan 10 hektare dan anak saya lima orang, saya tidak boleh mewariskannya dengan mengaveling-ngaveling masing-masing dua hektare untuk setiap anak," katanya.

Tanah harus utuh 10 hektare agar efisien menggunakan mesin dan anggota keluarga yang tidak bekerja dari pertanian mendapat saham dari warisannya. Atau bisa juga anak yang tidak bekerja di pertanian menjual haknya kepada saudaranya yang bertani.

Jika tidak ada di antara anak-anak itu yang meneruskan usaha pertanian bapaknya, tanah tersebut harus dijual secara keseluruhan kepada petani lain. Dengan demikian, tanah tidak akan pernah terpecah-pecah dan apalagi berubah menjadi pabrik, perumahan dan lain-lain kegiatan nonpertanian.

Bagi Pemerintah Swiss, ketahanan pangan sama pentingnya dengan ketahanan militer yang produksinya secara nasional harus dijaga dan dilindungi. Menurut Hans Guertsner, sebagai petani, tugasnya hanya mengolah tanah, menanam, memelihara dan memanen.

Soal penjualan, sudah ada yang mengurus, yakni melalui koperasi. Di Swiss ada jaringan bisnis terkenal bernama Co-op (koperasi), yaitu seorang anggota hanya boleh punya satu saham.

Koperasi itu bermerek dagang Coop, berbisnis layaknya supermarket di Indonesia. Bukan hanya itu, mereka juga masuk bisnis perbankan, distribusi minyak, asuransi dan lain-lain. Wajar ketika raja hypermarket Carrefour dari Prancis mencoba masuk pasar Swiss, mereka melawan dan raja retail dari Prancis tersebut kalah total. Sekarang tidak ada satu pun ritel asing di Swiss. Kalaupun ada, itu sangat kecil seperti jaringan Aldi dari Jerman.

Mengapa produk pertanian Swiss bisa jadi raja di rumah sendiri? Pertama, kebijakan pemerintah melindungi pertanian domestik. Kedua, ada subsidi dalam bidang pertanian. Ketiga, sikap konsumen Swiss cenderung memilih produk domestik, meski harganya sedikit lebih mahal. Contoh, telur dari Spanyol atau Italia bisa 50 sen lebih murah. Demikian juga stroberi, apel, wine, anggur, dan produk pertanian lainnya.

Pemerintah Indonesia perlu belajar mengembangkan sektor pertanian dari Swiss yang telah menempatkan ketahanan pangan sama dengan ketahanan militer.