Besarnya kerugian perikanan Indonesia akibat penjarah asing

id ikan, perikanan, laut indonesia, kerugian perikanan, pencurian ikan

Besarnya kerugian perikanan Indonesia akibat penjarah asing

Ilustrasi (FOTO ANTARA)

....Sebelumnya, estimasi kerugian akibat IUU Fishing per tahun oleh FAO (Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia) kurang lebih Rp30 triliun per tahun....
Jakarta (ANTARA Sumsel) - Masih gencarnya pencurian ikan yang dilakukan berbagai kapal ikan asing sangat merugikan Indonesia sehingga perkiraan kerugian negara "illegal, unreported, and unregulated fishing" (IUU Fishing) dapat mencapai Rp101 triliun per tahun.

"Sebelumnya, estimasi kerugian akibat IUU Fishing per tahun oleh FAO (Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia) kurang lebih Rp30 triliun per tahun," kata Sekretaris Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Ida Kusuma Wardhaningsih di Jakarta, Kamis (16/4).

Data yang diumumkan FAO tahun 2001 menyatakan bahwa negara-negara berkembang berpotensi kehilangan 25 persen dari stok sumber daya ikannya akibat dari IUU Fishing.

Indonesia pada saat itu memiliki sumber daya ikan hingga sebesar 6,5 juta ton per tahun sehingga perhitungan angka kerugian yang hilang adalah seperempat dari jumlah itu atau sebesar 1,6 juta ton.

Jika diasumsikan harga jual ikan di pasar internasional rata-rata 2 dolar AS per kilogram, maka kerugian Indonesia pada saat itu diperkirakan mencapai 3,2 miliar dolar AS atau setara Rp30 triliun ketika itu.

Namun pada saat ini, Ditjen PSDKP KKP melakukan kajian yang menyatakan bahwa total kerugian negara per tahun dapat dihitung dari hilangnya potensi sumber daya ikan yang ditangkap secara ilegal dikalikan indeks investasi bidang perikanan di Indonesia ditambah dengan kerugian terkait ketenagakerjaan.

Ditjen PSDKP mengemukakan bahwa hasil dari perhitungan tersebut mencapai sekitar Rp101 triliun.

Pemerintah dinilai kehilangan nilai ekonomis dari ikan yang dicuri, Pungutan Hasil Perikanan (PHP) yang hilang, subsidi BBM yang dinikmati kapal perikanan yang tidak berhak, Unit Pengolahan Ikan (UPI) kekurangan pasokan bahan baku, sehingga melemahkan upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan daya saing produk perikanan, serta mata pencaharian nelayan skala kecil yang kalah bersaing dengan kapal asing.

Selain itu, terdapat pula aspek kerugian lainnya yaitu dari aspek ekologis antara lain kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya, yang disebabkan oleh penggunaan alat penangkap ikan dan atau alat bantu penangkapan ikan (API/ABPI) yang tidak ramah lingkungan. "IUU fishing merupakan salah satu penyebab kapasitas UPI yang sudah dibangun hanya termanfaatkan sekitar 30-50," katanya.

Di samping itu, ujar Ida, praktek IUU fishing menyebabkan kesulitan bagi otoritas pengelolaan perikanan untuk mendapatkan data potensi sumber daya perikanan yang akurat, untuk mengatur kuota pemanfaatan sumber daya perikanan.

Ia juga berpendapat bahwa kerugian lain yang tidak kalah penting adalah menimbulkan citra negatif bangsa Indonesia, karena Indonesia dianggap tidak mampu mengelola sumber daya kelautan dan perikanannya dengan baik.

Menurut dia, bila pihaknya telah dapat memiliki data kajian yang riil dan komprehensif, maka tidak tertutup kemungkinan misalnya dilakukan jeda atau moratorium penangkapan ikan sebagaimana telah dilakukan di kehutanan.

KKP mengakui kemampuan untuk mengawasi pencurian ikan atau "Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing"/IUU Fishing" di kawasan perairan Republik Indonesia masih terbatas.

"Kemampuan pengawasan di laut sangat terbatas dibanding kebutuhan untuk mengawasi daerah rawan IUU Fishing," katanya.

Menurut dia, keterbatasan kemampuan untuk mengawasi perairan juga terlihat antara lain dengan masih belum adanya kapal KKP yang bisa beroperasi misalnya di selatan laut Jawa.

Ia memaparkan, jumlah kapal yang diperiksa karena dicurigai terlibat IUU Fishing dilaporkan menurun seiring dengan berkurangnya jumlah hari operasi kapal pengawas, padahal kinerja operasi kapal pengawas perikanan terkait erat dengan jumlah hari operasi.

Berdasarkan data KKP, ujar dia, sampai dengan tahun 2014 jumlah kapal pengawas perikanan yang dimiliki institusi tersebut adalah sebanyak 27 unit.

Ia memaparkan, pada tahun 2012 hari operasional pengawasan adalah sebanyak 180 hari pelayaran, sedangkan pada 2013 hari operasional menurun menjadi 115 hari pelayaran. Sementara jumlah kapal yang diperiksa juga menurun dari 4.326 unit kapal pada 2012 menjadi 3.871 kapal.

Sedangkan bila dilihat secara terperinci pada 2013, jumlah kapal ikan asing yang ditahan (tidak hanya sekadar diperiksa) adalah sebanyak 44 unit kapal, sedangkan jumlah kapal ikan indonesia sebanyak 24 unit.

                                                   Jangan surut
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengemukakan berbagai pihak termasuk kementerian yang dipimpinnya agar jangan surut menghadapi tindakan pencurian ikan yang dilakukan kapal-kapal asing.

"Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak sedikit pun surut untuk tetap memerangi kejahatan di laut Indonesia," kata Sharif Cicip Sutardjo, Jumat (11/4).

Menurut dia, "genderang perang" terhadap praktik IUU Fishing sudah dikumandangkan KKP dengan pekan lalu di mana armada KKP di bawah komando Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) menangkap lima kapal pencuri ikan.

Kapal yang ditangkap di kawasan perairan Laut Natuna Kepulauan Riau berbendera Vietnam.

Berdasarkan data KKP, sampai awal April 2014, armada Kapal Pengawas KKP telah berhasil menangkap kapal ikan yang diduga melakukan "illegal fishing" sebanyak 16 kapal.  

Dari jumlah tersebut, delapan kapal ikan asing berbendera Vietnam dan 8 kapal ikan ditemukan berbendera Indonesia.

Sementara itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai pengelolaan sumber daya perikanan dan sektor kelautan nasional masih proasing, padahal mestinya mengutamakan perlindungan dan pemberdayaan nelayan tradisional.

"Kebijakan pengelolaan sumber daya laut sudah kebablasan dengan campur tangan asing," kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim di Jakarta, Minggu (6/4).

Menurut dia, kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan nasional mengarah kepada praktik liberalisasi sehingga pihak asing bisa leluasa.

Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kiara, campur tangan asing yang mencolok adalah pihak asing diberi keleluasaan untuk memanfaatkan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya.

Hal itu tertuang dalam Pasal 26A ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

"Padahal sudah ada koreksi dari Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," ucapnya.

Untuk itu, menurut Abdul Halim, jelas bahwa amanah UUD 1945 dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan diselewengkan.