Marsekal Al Sisi menabuh genderang perang

id Marsekal Abdel Fatah Al Sisi , Marsekal Abdel Fatah Al Sisi krisis mesir, pemilihan presiden mesir

Marsekal Al Sisi menabuh genderang perang

Abdel Fatah Al Sisi (Reuters)

Kairo (ANTARA Sumsel) - Ketegangan politik dan keamanan di Mesir kembali menghangat setelah Marsekal Abdel Fatah Al Sisi (59 tahun), aktor utama pelengseran Presiden Mohamed Moursi, menyatakan siap bertarung dalam pemilihan presiden.

Marsekal Al sisi pada Kamis (27/3) mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Adly Mansour dari dari semua jabatan pemerintahan yang disandangnya, yaitu Ketua Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, merangkap Panglima, Menteri Pertahanan dan Produksi Militer, dan Wakil Perdana Menteri.

Taklimat pengunduran diri itu dilakukan lewat jumpa pers pada Rabu (26/5) petang, lewat siaran televisi dengan berseragam lengkap militer untuk bertarung merebut posisi sebagai orang nomor satu di Negeri Piramida itu.

"Hari ini (Rabu) merupakan hari terakhir saya memakai seragam militer yang saya cintai setelah selama 45 tahun melekat di badan ini," katanya.

Jenderal Angkatan Darat kelahiran 19 November 1954 ini mengundurkan diri dari militer enam bulan menjelang pensiun pada November mendatang.

Gelar Marsekal sendiri baru diterima Jenderal Al Sisi dari keputusan presiden tahun lalu, yang merupakan pangkat tertinggi dalam lingkup angkatan bersenjata Mesir.

Pangkat marsekal di Mesir berbeda dengan negara lain termasuk di Indonesia yang khusus diperuntukkan bagi perwira berbintang empat Angkatan Udara.

Pencalon Al Sisi ini sejak lama didengungkan pasca pelengseran Moursi pada pada 3 Juli tahun silam.

Bahkan nama dan gambar Al Sisi sudah diusung massa oposisi semasa demo besar pada 30 Juni 2013 yang menuntut pengunduran diri Moursi.

Sejak itu, bintang Jenderal Al Sisi terus memancarkan sinarnya di ufuk negeri lembah Nil itu, melebihi tokoh-tokoh lain termasuk Presiden Adly Monsour.

"Pasca pelengseran Moursi, presiden de facto itu sebetulnya adalah Al Sisi. Adapun Adly Monsour itu tak ubahnya presiden boneka saja," kata analis politik Raghda Metwaly.

Metwaly merujuk pada pengangkatan Mansour menggantikan Moursi itu diatur oleh Jenderal Al Sisi.    

Di sisi lain, jajak pendapat belakangan ini pun selalu menempatkan Al Sisi di urutan teratas.

        
          Meredup
Seiring kemunculan Al Sisi, ketenaran tiga tokoh utama yang berperan penting menghimpun massa dalam Revolusi 30 Juni, yaitu Mohamed Elbaradei, Ahmdun Sabbahi, dan Amr Moussa belakangan ini mulai meredup.

Padahal, ketiga tokoh itu sebelumnya menyatukan barisan melawan Moursi dengan membentuk kubu "Jabhah Al Inqadz Al Wathani" (Front Penyelamatan Negara).

Setelah musuh bersama mereka (rezim Moursi) tumbang, kubu nasional itu pun pecah berantakan.

Elbaradei kini mengasingkan diri di luar negeri setelah mengundurkan diri dari Wakil Presiden Urusan Hubungan Luar Negeri sebagai protes terhadap pembubaran paksa massa Ikhwanul Muslimin pendukung Moursi di Bundaran Rabiah Adawiyah pada Agustus lalu.

Amr Moussa yang mengetuai Komite Penyusunan Konstitusi yang disahkan Januari lalu itu telah menyatakan mendukung pencalonan Al Sisi.

Adapun Hamdun Sabbahi, yang dalam pilpres lalu menduduki posisi ketiga, menyatakan bertarung melawan Al Sisi.

Komisi Pemilu menjadwalkan akan membuka pendaftaran pencalonan presiden pada Ahad (30/3) kendati tanggal pelaksanaan pilpres belum ditetapkan.

Penentuan tanggal pilpres itu tertunda akibat tarik menarik kepentingan antar kekuatan politik menyangkut undang-undang pemilu, terutama pasal tentang penetapan hasil pemilu.

Ada dua pendapat menyangkut pasal tersebut. Di satu pihak, Presiden Adly Mansour menginginkan hasil pemilu nanti tidak bisa diganggu gugat, dan pihak lain bersikeras agar berlaku gugatan bila terjadi gelagat kecurangan.

Keinginan Presiden Mansour tersebut adalah untuk tidak mengulangi kasus pemilu sebelumnya yang memberi celah untuk digugat di pengadilan konstitusi.

Akibat adanya celah tersebut, hasil pemilu parlemen 2011/2012, yang dimenangkan kubu Ikhwanul Muslimin, pun digugat oleh oposisi.

Oposisi memenangkan gugatan tersebut dan akhirnya parlemen  dibubarkan mahkamah konstitusi.

         Genderang perang
Meskipun Al Sisi tenar di kalangan pengikutnya, namun pencalonannya itu ibarat menabuh genderang perang.

Pasalnya, Ikhwanul Muslimin pendukung Moursi, yang memenangkan pemilu lalu, terus melancarkan aksi melawan penguasa.

Kendati hampir semua pemimpin Ikhwanul Muslimi dan ribuan pengikutnya telah ditangkap, mereka berikrar akan terus melawan.

"Kami tidak bakal mundur sejengkalpun untuk melawan penguasa pengecut meskipun berhadapan dengan senjata berat," tulis sebuah spanduk yang diusung mahasiswa Cairo University pada Rabu (26/3).

Satu orang mahasiswa universitas itu tewas dan puluhan luka-luka dalam bentrokan dengan aparat keamanan.

Selain Cairo University, aksi unjuk rasa pendukung Moursi juga hampir barlangsung di semua perguruan tinggi di seantero negara itu.

Presiden Moursi dan Pemimpin Tertinggi (Mursyid) Ikhwanul Muslimin Mohamed Badie ditahan dan diadili atas dakwaan pembunuhan demonstran oposisi.

Pemimpin sementara Ikhwanul Muslimin kini dijabat oleh Prof Dr Mahmoud Ezzat, dosen fakultas kedokteran Universitas Zakazik, 83 km utara Kairo.

Pada Senin (24/3), satu pengadilan Mesir memvonis hukuman mati terhadap 529 pengikut Ikhwanul Muslimin atas dakwaan penyiksaan seorang perwira polisi hingga tewas.

Hukuman mati sebanyak itu tak pelak lagi menimbulkan kecaman internasional.

Amnesti Internasional mengecam keras dan menilai pengadilan tersebut sarat dengan tekanan politik.

Badan PBB itu memperkirakan lebih dari 1.400 pengikut Ikhwanul Muslimin tewas dalam beberapa bulan terakhir sejak Moursi dilengserkan.

Amerika Serikat juga mengecam keras atas vonis mati tersebut dan mengancam akan menangguhkan rencana bantuan 1,5 miliar dolar AS kepada Mesir.

Di tengah kecaman dunia internasional tersebut, Menteri Dalam Negeri Mohamed Ibrahim yang membawahi kepolisian dan lembaga keamanan nasional berjanji akan menumpas teroris.

Ikrar Mendagri itu tampaknya ditujukan kepada Ikhwanul Muslimin, yang sejak Desember lalu oleh pemerintah Mesir dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Alhasil, genderang perang telah ditabuh Marsekal Al Sisi di tengah aksi serangan bom yang terus menghantui Mesir dan aksi penembakan terhadap aparat keamanan dari kelompok bersejata tak dikenal.