Akademisi: Media tak boleh jadikan perempuan komoditas

id media, perempuan, komoditas perempuan

Akademisi: Media tak boleh jadikan perempuan komoditas

Ilustrasi.(Foto Antarasumsel.com/13/Feny Selly/Aw)

Yogyakarta (ANTARA Sumsel) - Media tidak boleh menjadikan perempuan sebagai komoditas yang bisa dijual kepada pemasang iklan, kata dosen komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Ana Nadhya Abrar.

"Hal itu penting karena perempuan adalah manusia. Media harus bersentuhan dengan kemanusiaan ketika memberitakan perempuan," katanya pada lokakarya "Peliputan Pemilu 2014 yang Responsif Gender", di Yogyakarta, Kamis.

Menurut dia, media juga tidak boleh menjadikan perempuan sebagai hiburan dan bahan olok-olok. Hal itu harus dipatuhi media ketika memberitakan perempuan.

"Jika media memenuhi hal itu sebenarnya media telah menghargai perempuan sebagai manusia," tukasnya.

Oleh karena itu, kata dia, media harus mengetahui persis apa dan bagaiman perempuan. Namun, dalam perspektif filsafat, perempuan bukan hanya untuk diketahui, melainkan juga untuk dihayati.

"Dalam rangka menghayati perempuan itulah sebenarnya media perlu memaknai perempuan dengan benar," ujarnya, menegaskan.

Ia mengatakan, perempuan harus sukses memajukan rumah tangga, mulai dari membesarkan anak, mendidik anak, dan menjadikan rumah tangga sebagai surga bagi anggota keluarga.

"Untuk itu, orang memaknai perempuan sebagai calon ibu atau ibu yang baik. Perempuan harus menjadi kepala rumah tangga," ucapnya.

Namun, menurut dia, perempuan tidak selalu harus dimaknai sebagai kepala rumah tangga. Perempuan juga bisa dimaknai sebagai pembuat keputusan yang cepat dan fasilitator untuk bermusyawarah mencapai mufakat.

"Perempuan bahkan bisa dimaknai sebagai perumus tujuan yang hendak dicapai. Artinya, perempuan jangan dimaknai sebagai makhluk yang terbelenggu oleh fitrahnya sebagai perempuan," tandasnya.

Ia mengatakan, media seharusnya menghargai perempuan sebagai makhluk yang bisa mengartikulasikan kepentingannya. Perempuan bisa memahami kebutuhannya, baik di bidang sosial maupun politik.

"Dalam konteks itu, media harus memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berbicara tentang masalah publik," katanya.